Jika "Cinta
dalam Hati" menjadi lagu favoritku sejak SMP dulu, maka "Menangis
dalam Hati" menjadi hal favoritku kala itu.
Yaa.. Tangisku
hanya meledak sekali, saat perbincangan antara seorang Bapak Tua bersuara serak
dengan anak sulung tak tau diuntung berakhir. Sisanya terpendam pada rongga
dada berlapis daging tipis yang selalu bergetar dikala kebaikan banyak orang hadir
membersamai. Pasalnya, kenikmatan-kenikmatan Tuhan menghampiriku dalam 4 hari itu. Agustus tahun lalu, aku sebagai
perempuan Jawa yang sudah lebih dari 5 tahun tinggal d Ibukota harus kembali
dari Jogjakarta ke Jakarta dengan cara yang berbeda. Perjalanan dibatasi dalam
waktu 4 hari 3 malam bersama 2 teman seperjuangan yang kemudian kusebut sebagai
saudara senyawa. Mada, perempuan setangguh baja dari Sulawesi Tenggara dan
Garda, mahasiswa akhir Universitas Gajah Mada. Sejak awal aku pun tak menganggap
kebersamaan kami sebagai tantangan karena sepertinya tak banyak beda diantara
kita. 2 kota dengan bekal 100.000 yang harus kami singgahi yakni Purwokerto
dengan misi tangan di atas dan Brebes dengan misi tangan di bawah pun ku rasa
akan berjalan dengan baik-baik saja.
Tumpangan gratis
atau penolakan halus-kasar dari mobil pick up, truk terbuka, atau mobil
biasa-mewah sepertinya menjadi hal lumrah dalam setiap perjalanan kami. Dari
ayam goreng, rica-rica, nasi rames, hingga gorengan menjadi santapan penuh
makna. Petugas pasar dengan ramahnya menyambut ziarah tangan di bawah kami,
memberi kami tempat penitipan barang, rekomendasi para penjual, hingga makan
siang. Begitu pun Pak polisi yang mengijinkan kami mengamen bahkan mencarikan
tumpangan, juga menraktir makan. Mas Sayuti, yang tiba-tiba muncul ketika kami
mencari tau tentang jalan menuju alun-alun Brebes memberi kepercayaan
speenuhnya untuk meninggali rumah secara utuh tanpa penghuni lainnya,
sebelumnya, ia mengajak kami keliling 2 kota (Tegal-Brebes) dengan Honda Jazz
merah sambil banyak cerita. Bantuan terakhir menutup ziarah diri tangan di atas
kami datang ketika kami lambaikan kertas bertuliskan, "Numpang ke Cirebon,
Pak.. Tolong" menggugah hati seorang bapak satu orang anak; Pak H. Kasmuri
namanya. Bersama Avanza beliau, kami meninggalkan Kota Telur Asin dengan hati
yang luar biasa. Mendengar berbagai petuah beliau, kami merasa kecil sekaligus
harus merasa besar untuk terus melanjutkan perjuangan.
Perjalanan
mengenal diri ini membuatku memberi arti, tantangan yang aku dan 2 karibku
sepakati sebagai hal yang sedikit biasa membuat kami kembali sepakat untuk
memberi makna yang luar biasa. Semakin sadar bahwa tak satu pun manusia bersih
dari dosa, tak ada sesuatu yang kekal dan abadi, tak ada hal apa pun yang mampu
sempurna. Namun, Tuhan tak pernah gagal menciptakan sesuatu. Ia sempurna dalam
membentuk fungsi dari setiap apa yang dicipta, karena Ia Maha Segalanya.
Ia sisakan banyak
manusia berharga dengan hati yang begitu istimewa. Manusia-manusia yang dalam
memberi dan peduli tak perlu mengenal jati diri, melainkan cukup bergeraknya
ketulusan hati. Manusia-manusia yang jika dalam percayanya melampaui apa yang
ia miliki, akan berhasil dalam menempa diri.
Menjadi manusia
baru, kurasa bukan basa basi semata. Aku yang sering kali sejak dini meremehkan
diri sebagai manusia sampah tanpa arti, kini siap menjadi pribadi mandiri yang
harus lebih peduli pada 2-3 manusia di sebelah kaki. Aku yang tak jarang
mengabaikan keluarga dan adik-adikku, kini sadar dari tamparan untuk kembali
mengayomi mereka. Untuk tidak melulu memberi mereka materi, melainkan ketulusan
hati dalam berbagi. Perjalanan ini singkat, tapi melekat. Sekilas, tapi
membekas.
Terima
kasih telah membantuku
memberi arti.
Terima kasih telah
menjadikanku manusia yang lebih berarti.
0 comments:
Post a Comment