It's my life...



Singkat, tapi Melekat. Sekilas, tapi Membekas!

Wednesday, February 1, 2017

Jika "Cinta dalam Hati" menjadi lagu favoritku sejak SMP dulu, maka "Menangis dalam Hati" menjadi hal favoritku kala itu.

Yaa.. Tangisku hanya meledak sekali, saat perbincangan antara seorang Bapak Tua bersuara serak dengan anak sulung tak tau diuntung berakhir. Sisanya terpendam pada rongga dada berlapis daging tipis yang selalu bergetar dikala kebaikan banyak orang hadir membersamai. Pasalnya, kenikmatan-kenikmatan Tuhan menghampiriku dalam 4 hari itu. Agustus tahun lalu, aku sebagai perempuan Jawa yang sudah lebih dari 5 tahun tinggal d Ibukota harus kembali dari Jogjakarta ke Jakarta dengan cara yang berbeda. Perjalanan dibatasi dalam waktu 4 hari 3 malam bersama 2 teman seperjuangan yang kemudian kusebut sebagai saudara senyawa. Mada, perempuan setangguh baja dari Sulawesi Tenggara dan Garda, mahasiswa akhir Universitas Gajah Mada. Sejak awal aku pun tak menganggap kebersamaan kami sebagai tantangan karena sepertinya tak banyak beda diantara kita. 2 kota dengan bekal 100.000 yang harus kami singgahi yakni Purwokerto dengan misi tangan di atas dan Brebes dengan misi tangan di bawah pun ku rasa akan berjalan dengan baik-baik saja.
Tumpangan gratis atau penolakan halus-kasar dari mobil pick up, truk terbuka, atau mobil biasa-mewah sepertinya menjadi hal lumrah dalam setiap perjalanan kami. Dari ayam goreng, rica-rica, nasi rames, hingga gorengan menjadi santapan penuh makna. Petugas pasar dengan ramahnya menyambut ziarah tangan di bawah kami, memberi kami tempat penitipan barang, rekomendasi para penjual, hingga makan siang. Begitu pun Pak polisi yang mengijinkan kami mengamen bahkan mencarikan tumpangan, juga menraktir makan. Mas Sayuti, yang tiba-tiba muncul ketika kami mencari tau tentang jalan menuju alun-alun Brebes memberi kepercayaan speenuhnya untuk meninggali rumah secara utuh tanpa penghuni lainnya, sebelumnya, ia mengajak kami keliling 2 kota (Tegal-Brebes) dengan Honda Jazz merah sambil banyak cerita. Bantuan terakhir menutup ziarah diri tangan di atas kami datang ketika kami lambaikan kertas bertuliskan, "Numpang ke Cirebon, Pak.. Tolong" menggugah hati seorang bapak satu orang anak; Pak H. Kasmuri namanya. Bersama Avanza beliau, kami meninggalkan Kota Telur Asin dengan hati yang luar biasa. Mendengar berbagai petuah beliau, kami merasa kecil sekaligus harus merasa besar untuk terus melanjutkan perjuangan.
Perjalanan mengenal diri ini membuatku memberi arti, tantangan yang aku dan 2 karibku sepakati sebagai hal yang sedikit biasa membuat kami kembali sepakat untuk memberi makna yang luar biasa. Semakin sadar bahwa tak satu pun manusia bersih dari dosa, tak ada sesuatu yang kekal dan abadi, tak ada hal apa pun yang mampu sempurna. Namun, Tuhan tak pernah gagal menciptakan sesuatu. Ia sempurna dalam membentuk fungsi dari setiap apa yang dicipta, karena Ia Maha Segalanya.
Ia sisakan banyak manusia berharga dengan hati yang begitu istimewa. Manusia-manusia yang dalam memberi dan peduli tak perlu mengenal jati diri, melainkan cukup bergeraknya ketulusan hati. Manusia-manusia yang jika dalam percayanya melampaui apa yang ia miliki, akan berhasil dalam menempa diri.
Menjadi manusia baru, kurasa bukan basa basi semata. Aku yang sering kali sejak dini meremehkan diri sebagai manusia sampah tanpa arti, kini siap menjadi pribadi mandiri yang harus lebih peduli pada 2-3 manusia di sebelah kaki. Aku yang tak jarang mengabaikan keluarga dan adik-adikku, kini sadar dari tamparan untuk kembali mengayomi mereka. Untuk tidak melulu memberi mereka materi, melainkan ketulusan hati dalam berbagi. Perjalanan ini singkat, tapi melekat. Sekilas, tapi membekas.



Terima kasih telah membantuku memberi arti.

Terima kasih telah menjadikanku manusia yang lebih berarti.

0 comments:

Post a Comment