Boleh aku bercerita? Kali ini tentang nasihat ayah pada putri sulungnya yang baru 4 hari menginjakkan kaki di gubuk tercinta, namun sudah hendak kembali ke kota untuk bekerja dan melangkahkan usaha mengambil S2. Ditulis dalam Bahasa Indonesia meski dengan ejaan yang tak sempurna, tapi mudah-mudahan lebih mengena.
Seperti biasa, setiap akan kembali ke tanah rantau, sang ayah akan mengendap perlahan menuju tempat anak berkemas untuk menyuarakan keinginannya dalam bentuk tausyiah kilat.
"Diperiksa lagi benar-benar, jangan sampai ada yang tertinggal", ucapnya sambil memandang anaknya. Sang anak diam seolah tak mendengar, tetapi dengan pasti menunggu kata berikutnya.
"Dihati2 badannya, kerjanya, yang sungguh-sungguh biar berkah. Masalah sim dan motor mau gimana jadinya?"
Kali ini anak gadis tahu ia harus bersuara, meski juga tahu bahwa pertanyaan Bapaknya hanya sebagai jeda nasihat berikutnya. Ia pun menjawab sekenanya, sesuai rencana A-B yang memang sudah ia punya.
"Ya udah kalo gitu, apa2 itu kan harus ada solusi mau seperti apa langkah yang diambil. Kalau memang ada keinginan sekolah lagi, ya segera, dipikir2 lagi, jangan ditunda-tunda. Kalau mau kerja ya langkah-langkahnya mau gimana, seperti apa. Mumpung umur masih mencukupi."
Sekali lagi, sepertinya si gadis akan kembali bersorak karena sudah pasti berhasil menebak apa yang akan dikata Sang Bapak berikutnya.
"Bukannya ga butuh harta atau g mau ngejar dunia, butuh ya butuh, pengen cukup ya iya. Tapi kan yang namanya orang hidup itu g bisa sendiri, butuh orang lain. Harus ada keturunan yang melanjutkan k generasi berikutnya. Biar lingkaran silaturahmi itu terus ada, makin banyak."
Sudah pasti lah mengarah ke sana. Padahal jauh-jauh hari sebelumnya, sang anak sempat sedikit mengancam untuk tidak suka dibahas tentang "begituan". Bahkan ketika anak laki-laki dari kakak sang Ibu dikabarkan mencari tanggal untuk bertunangan, ia secara sergap mengingatkan "Bapak jangan meri, jangan iri. Aku belum pengen, masih lama", ucapnya setengah bercanda. Masih sedikit kesal, ia tetap mendengar ayahnya melanjutkan perbincangan sebelah pihak.
"Yang pertama dan utama pokoknya harus seiman, paling tidak ya tahu agama. Tahu bukan sekedar tahu saja, tapi mengerti. Ya memang, yang beragama banyak juga cacatnya, banyak yang bermaksiat. Tapi seenggaknya niat dan jalannya menuju akhirat. Kalo ngerti agama, itu insyaAllah tahu landasan berkeluarga. Jauh dekat yang penting tanggungjawab, mau usaha. Orang yang mau tanggungjawab ya komitmennya pasti kuat, ga mungkin sembarangan. Hati-hati." Nasihat diakhiri dengan helaan nafas cukup berat dari sang ayah. Anaknya pun tak jauh lebih berat ketika mencoba menyerap ucapan. Tak ada satu aksara pun hendak dikeluarkan, diam dan melanjutkan bebenah. Memang, tak ada satu kata "jodoh" atau "pasangan" yang baru saja ia ungkap pada pada anaknya, tapi anaknya kini semakin pintar memakna setiap kata. sepertinya, anaknya hanya belum siap berdebat perihal itu.
Sang ayah seolah paham, ia lantas segera memanggil istrinya untuk bergegas menyiapkan motor dan ia kembali sibuk di kandang.
Dalam hati, gadis ini penuh kecamuk, ingin rasanya ia memberi jawaban pada kekhawatiran dan harapan Bapaknya. Hingga akhirnya tulisan ini yang jadi wakilnya,
"Bapak, maaf! Maafkan anakmu yang sejak 5 tahun lalu memutuskan untuk pergi dan belum berniat untuk kembali. Anakmu kini memilih "rumah" hanya sebagai "tempat singgah". Maaf sekali. Anakmu sudah teracuni, oleh berjuta warna di luar sana, oleh gemerlapnya dunia kota di balik Jepara, oleh suksesny orang-orang dengan pendidikan, agama, atau harta. Anakmu ingin menjadi salah satu-dua-atau tiganya. Semata-mata, sulungmu sadar benar ia tak boleh tinggal diam, ketika adik-adiknya tak mungkin hanya bergantung pada orang tua. Ketika orang tuanya tak mungkin terus muda. Ketika dunia di sekitarnya membutuhkan dia, yang tak mungkin ia dapat bergerak jika dengan tangan kosong. Anakmu butuh modal untuk itu semua; agama, pendidikan, dan harta adalah sebagian jawabannya.
Bapak, aku sudah terlanjur basah. Tak mau jika harus bergegas untuk mengeringkan diri. Anakmu pun ingin membedakan, misalnya, bagaimana rasa air tawar dan air laut. Air telaga dan air rawa. Air di Jepara dan Jakarta. Air Indonesia dan air Eropa. Ijinkan anakmu berkelana, Pak, berkelana dengan tujuan, berkelana dengan alasan, yang mudah-mudahan di jalan Tuhan. Mungkin dulu berawal dari ego anakmu untuk meninggikan derajatmu dan istrimu, agar dikenal sebagai sosok orang tua hebat meski hanya tukang rosok, sosok orang tua kuat meski hanya seorang blantik dan mantan penggali sumur. Namun, kini asaku lebih tinggi, mudah-mudahan memang pamrih dan riya segera hilang seiring mapannya diri. Anakmu tak ingin berhasil sendiri, atau hanya membahagiakan sanak famili, anakmu pun ingin berbagi pada orang-orang yang perlu diberi.
Bapak, dalam diam dan berontakku perihal itu, bukan ku tak berharap, apa lagi tak khawatir tentang sosok pendamping. Justru anakmu lah orang pertama yang paling mawas diri. Ia paham benar usianya tak lagi belia. Namun, miris, belum ada pria yang didamba, belum konsisten nama yang ia bawa dalam doa, dekat-didekati-mendekati pria pun belum ada, bahkan tak terbayang ia bersama dengan siapa nantinya, akan seperti apa perjalanan kasihnya, sungguh belum terbayang. Anakmu yang menjalaninya, Pak. Tidak kah kau rasa ia tak bersedih hati? Sementara perlahan tapi pasti gadis seusianya mendapat tambatan hati, ia masih bersama lingkaran para lelaki yang selalu dianggap saudara sendiri. Tidak kah ia sering memikirkannya? Ia hanya bersyukur, nama Tuhan masih ada dalam dirinya. Sehingga, Asa menutupi kekhawatirannya akan calon imam. Cita-cita dan kepercayaan melebihi ketakutan jika ia tak segera mendapat pasangan.
Sesungguhnya, anakmu tak pernah benar-benar tenang, Pak! Jika kau menambah dengan kekhawatiran atas harapanmu, tidak kah ia semakin pilu? Dukungan dan doa senantiasa ia butuhkan.
Biarkan anakmu melanjutkan apa yang telah ia lukis, Pak.. Tak perlu kau cela, pujian dan arahan pasti akan lebih berguna.
Terima kasih, Pak.. Protes positifmu menambah syukurku atas peduli luar biasamu. Jaga kesehatanmu, anakmu akan terus memberi kabar untuk kebahagiaanku dan adik-adikku yang insyaAllah tak henti padam"
Semoga kalian yang membaca berkenan mengaminkan, untuk sepenggal kisah "nikah-nikah" dari seorang Bapak untuk anak gadis tertua manjanya.
Perjalanan Jepara-Jakarta
9 Juli 2016
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment