It's my life...



Jangan Sadarkan Mahasiswa: Idealis atau Apatis?!

Sunday, February 19, 2017


Semakin banyak orang tua yang menyadari bahwa pendidikan memang lah hal yang penting, hingga akhirnya sebagian besar dari mereka berjuang keras agar bisa menitipkan anak-anak mereka di dunia Universitas untuk mengenyam bangku pendidikan. Entah kesadaran mereka didapatkan dari paksaan anak-anaknya yang ingin kuliah, sadar bahwa pendidikan merupakan salah satu kunci agar anaknya bisa lebih sukses dari mereka atau bahkan hanya karena sadar bahwa saat ini “gelar sarjana” seolah menjadi keharusan, yang terpenting tidak sedikit anak-anak manusia di abad ke 21 ini yang bertitel MAHASISWA.
Keberagaman kesadaran itu pula yang memicu banyaknya jenis-jenis mahasiswa masa kini. Pada tahun 1960an, mahasiswa dikenal sebagai orang-orang terpelajar yang penuh semangat muda dalam mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah dan kemudian bergerak memperjuangkan kebutuhan masyarakat kecil nan tertindas dengan berragam cara. Mereka dengan jiwa idealismenya mampu beraksi untuk meruntuhkan rezim-rezim yang dianggap merugikan, meskipun belum ada solusi yang sempurna untuk perubahan bangsa. Setidaknya mereka mengerti bahwa menjadi mahasiswa bukan sekedar mencari gelar sarjana tanpa implementasi ilmu yang mereka peroleh saat masih bergelar mahasiswa. Menjadi mahasiswa bukan sekedar mendapat nilai dan IP yang tinggi, melainkan mulai belajar mendapatkan kebutuhan-kebutuhan hidup di masa yang akan datang seperti link/jaringan, dana tambahan, dsb. Ditambah lagi, kondisi pada masa itu tidak lah senyaman sekarang dimana jumlah Universitas yang masih terbatas terutama fasilitasnya dan biaya kuliah yang mungkin lebih sulit untuk didapatkan. Namun, keadaan tersebut tidak membuat mereka mati dalam kungkungan IP, dosen serta kebijakan-kebijakan kampus hingga pemerintah.
Jika mahasiswa jaman 60an masih ada, mungkin mereka akan sangat bersyukur karena bukan menjadi mahasiswa saat ini. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terkadang justru membuat mahasiswa yang belum mampu memahaminya dengan benar terkesan menjadi amburadul, meski tidak sedikit juga dari mereka yang tidak kalah hebatnya dengan mahasiswa 60an tersebut. Sepertinya saat ini mahasiswa sudah dipandang luas oleh masyarakat, mulai dari pandangan masyarakat kepada mahasiswa dari kalangan berada, dibawah rata-rata, penerima beasiswa, dsb.

Mahasiswa Normal
Mahasiswa “borju” dengan bekingan dimana-mana akan menyelesaikan kuliahnya dengan cepat karena tidak perlu repot-repot untuk membuat seminar, cukup menghubungi “dekengan” dari dirinya sendiri atau yang lebih memalukan dari orang tuanya untuk membeli skripsi buatan orang atau menyisakan sedikit hartanya untuk membuat penguasa kampus bersedia membubuhkan tanda tangan pada ijasah sampahnya. Atau jika mereka ingin, mereka juga bisa menghabiskan 6-8 tahun masa muda mereka di bangku kuliah karena masih ingin bersenang-senang dengan gemerlapnya dunia malam melalui dugem. Berkompetisi satu sama lain untuk mendapatkan pengakuan siapa yang lebih populer karena peralatan-peralatan terbaru mereka, gadget mewah, kendaraan pribadi yang kinclong, merek-merek pakaian yang dipakai di luar hingga dalam yang susah diucapkan, belanja jutaan rupiah lalu berlomba-lomba membuat pesta ulang tahun dari hasil mengemis ke orang tua, hingga pulang larut malam ke kos yang dihuni campuran makhluk-makhluk penuh nafsu di kos atau bahkan rumah tanpa penjaga. Kemudian, menganggapnya sebagai sebuah kebanggaan karena sudah berani melakukan hal-hal yang dianggap luar biasa (gilanya).
Deskripsi mahasiswa diatas seolah menunjukkan bahwa yang borju selalu negatif dengan kekurangan disana-sini. Lalu, apakah mahasiwa yang positif dan benar-benar dianggap sebagai harapan bangsa itu yang cerdas dengan nilai penuh A & B, IP selalu di atas 3,8 tetapi begitu lulus hanya bekerja untuk duit dan menjadi babu perusahaan? Kemudian IP yang mereka agung-agungkan selama ini hanya menjadi sampah karena tidak tahu bagaimana menerapkannya secara realita, ikut seminar di banyak tempat tetapi hanya mengincar sertifikat semata. Atau mungkin mahasiswa adalah mereka yang berhasil mendapat beasiswa sehingga tidak perlu membebani biaya kuliah kepada orang tua, tetapi begitu di kampus hanya untuk kuliah-pulang tanpa tahu ada banyak organisasi yang bisa mereka ikuti untuk mempertajam otak mereka, manut dengan dosen yang maunya ini itu padahal mahasiswa lah yang berhak mendapatkan apa yang mereka sendiri mau, bukan menuruti apa maunya dosen. Lebih parah lagi jika yang disebut mahasiswa adalah mereka (mahasiswa beasiswa) yang begitu tunduk dengan berbagai aturan kampus dan lembaga pemberi mereka kehidupan dimana “harusnya” mereka sadar itu menyulitkan bahkan merugikan, tetapi mereka memilih stay cool dengan alasan mencari aman agar tetap bisa makan dan duduk di depan dosen untuk mendulang materi perkuliahan. Percayalah, menjalani kehidupan tidak hanya sekedar menjawab dan menganalisa teori pada sebuah kertas ujian!

Mahasiswa Aktivis

“Di Indonesia ini hanya ada dua pilihan, menjadi idealis atau apatis – Soe Hok Gie”

Mereka yang (mungkin) tidak apatis pasti lah tidak akan diam saja ketika gelar mahasiswa masih disandangnya. Banyak hal yang bisa dimanfaatkan hanya kerna gelar tersebut, menjadi aktivis salah satunya. Mahasiswa aktivis juga ternyata berragam jenisnya, dari yang memang benar-benar murni hingga yang banyak modusnya. Modus untuk mendapatkan banyak kenalan, gebetan hingga pacar, ada juga untuk mendapatkan jabatan dan dana. Ada juga aktivis dadakan atau part-timer yang hanya muncul ketika acara-acara tertentu saja (jaman SMA banget). Aktivis yang berjuta ide tetapi zonk setiap pelaksanannya juga terkadang mendominasi serta kebalikannya, aktifis yang hanya benar-benar giat ketika praktik di lapangan. Lebih unik lagi, aktivis yang berada di banyak tempat, mereka selalu ada dimana-mana, tetapi sayangnya mereka tidak kemana-mana. Aktifis modus tentu saja berbeda jauh dengan aktivis murni yang hanya kembali ke dunia kuliah ketika mereka sudah selesai mengemban tugas mereka di organisasi mereka. para aktivis murni juga tidak pernah main-main ketika menentukan kemana mereka melangkah, mereka memiliki ideologi yang kuat. Mereka memikirkan kemana arah dan tujuan mereka berorganisasi, pegangan apa yang organisasi tersebut miliki sehingga mereka akhirnya yakin untuk bergabung di dalamnya. Tidak hanya sekedar menganggap bahwa keislaman dan ideologinya, sekuler-kapitalisme, sosial-komunis atau nasionalisme menarik dan keren kemudian tanpa berpikir matang mencemplungkan diri mereka ke dalam bagian tersebut. Mereka yang memiliki idiologi tinggi ini mungkin bisa dianggap tidak berotak tumpul, mereka pasti peka dan sensitif dengan keadaan disekitarnya sehingga karakter mereka juga terbentuk dengan kuat.
Hal ini jelas bertolak belakang dengan mereka yang memilih untuk netral, apatis dan tidak mengenal pemikiran-pemikiran kritis terhadap situasi yang terjadi. Mereka akan dengan mudah terinjak akan hal-hal baru karena belum memiliki landasan dan pegangan yang kuat. Mereka hanya hidup sebatas mengenal aksi dan reaksi dari perbuatan, tetapi tidak pernah mempersiapkan dan mempertanyakan mengenai pijakan hidup mereka. Perlu ditanamkan pada masing-masing individu bahwa sikap apatis merupakan kejahatan. Membiarkan sebuah kejahatan adalah bagian dari kejahatan yang lebih dalam lagi.

Sumber: Chio. (2010). Jangan Sadarkan Mahasiswa. Anomali

0 comments:

Post a Comment