It's my life...



Friday, March 1, 2019

[[Medali Pertama di Bulan Pertama]]



Awal Desember 2018 lalu, menjadi puncak rasa greget dan kesel pada diri sendiri karena semakin lemah dan sering tak sehat. Banyak target yang tak tercapai karena sakit-sakitan dan superbaperan, baik fisik pun mental. Parah lah, macem-macem, dari yang insomnia kelas kakap, maag akut, GERD, flu rutin, sampe pingsan di mol pun dirasain.
Sadar kalau dibiarin jadi makin gak waras, akhirnya bertekad nyari solusi, terciptalah #2019SehatJasmaniRohani yang wajib dijalanin. Terhitung tanggal 4 Januari 2019 dan Alhamdulillah sampe memasuki bulan ke-3 ini masih bisa ngejalanin apa yang udah jadi komitmen awal, yaitu lari. Kenapa lari? Sederhana, karena MUDAH dan MURAH.
1. Mudah karena saaaaangat single friendly (HAHAHAHA), buat olahraga lari, gue ga bergantung pada temen, alat atau apa dan siapapun, cuma butuh niat dari diri sendiri. Walopun sejauh ini malah lebih sering lari berdua-bertiga-sampe beratus-ratus orang karena ternyata lari itu nular loh (kalo ngomongin ini bisa jadi 2 bab sendiri nih wkwk). Iya, jadi ku sering unggah foto dan status kalo lagi lari, eh ternyata ada juga temen yang demen lari, akhirnya barengan lah, ada juga yang akhirnya termotivasi buat ikut olahraga juga (seneng banget kalo berhasil narik orang buat ikut lari juga). Atau, ku tau dia anak lari, ku pepet lah biar ada temennya (sapa tau yekaaan). Selain itu, ku penderita GERD, jadi kadang khawatir kalo musti lari sendiri (next medal mau cerita soal lari buat anak GERD *gayaknyaaaa haha). But, it’s totally fine if I should running without anyone. Sendiri pun ga masalah, pun ada temen ya Alhamdulillah.
2. Murah, saaaaaaangat cocok buat para shobat missqueen (HAHAHAHA), buat olahraga lari, gue ga perlu bayar tempat atau beli alat apapun. Cukup lari keliling komplek atau ke taman terdekat juga bisa. Cukup pake kaos, celana, dan sepatu. Udah Tok Til! Mau di manapun, kapanpun, bisa, Cuy! Pertama kali lari, ku cuma punya 1 celana training yang udah 7 tahun dan sepatu seadanya (bukan running shoes bahkan!), cuci kering pakai aja gitu gua mah, itu-itu mulu outfitnya. Sekarang juga celana baru dua doang, running shoes cuma satu. Tapi, tenang ajaa..buat horang kayaah, lari juga bisa banget jadi pilihan. Kalo mau pake outfit lari yang bener, percaya lah, harganya suka bikin engapphh! Alih-alih olahraga murah, malah bikin hedon heuff.. dari mulai kerudung khusus lari yang harganya 15 kali lipat dari harga kerudung paris (untung bentuk kepala dan leher g mendukung, jadi g mau make running hijab haha), headband/topi (buat yang ga make kerudung), sport bra, kaos, manset, legging, celana lari, sepatu khusus lari (ini siiiih ampun Yaa Allaaah, nabungku larinya ke sepatu), belom aksesoris2 lain ye kaaan. Kalo nurutin keren mah, duit berapa juga abis lah. Jadi, kalo nurutin olahraganya doang sih, InsyaAllah beneran murah. (tapi ya monmaap, naluri aja gitu kalo udah seneng sesuatu pasti pengennya dibikin keren HAHAHAA astaghfirullah)
Terus gimana setelah 2 bulan ini? Ada hasilnya gak? Ofcrossss… banyak!! Alhamdulilah berasa banget manfaatnya. Bye-bye insomnia, mood lebih stabil-apalagi kalo di tengah weekday bisa nyempetin lari malem, refresh banget! (ini biasanya eike di Monas tiap Selasa/Rabu malem bareng temen-temen GMB, kuy gabung!), ga sakit pas lagi mens (yang dulu pingsan juga kan gegara itu salh satunya), nafsu makan naik-berat badan nambah-walopun Cuma sekilo-kzl! (iyaaa, aku lari bukan biar langsing, aku udah kerempeeeng genggg..tapi justru biar gemuk, dan setelah lari emang pola makan terjaga). InsyaAllah selalu dekat dengan #2019SehatJasmaniRohani #2019BahagiaLahirBatin
Setelah istiqomah seminggu 2-3 kali lari, dari yang baru 3 menit lari terus jalan, dari yang awalnya dapet 3K dengan waktu 30 menitan, dari yang sekali puteran udah mo blackout. Akhirnya ku juga ngeberaniin diri buat ikutan running event 5K. kenapa sih gayak amat ikutan acara begituan? Kan bayar. Yes, emang bayar. Awalnya juga sayang, masak duit segitu Cuma buat lari. Udah mah ngeluarin duit, eh dapet capek doang. Tapi, itu lah, karena udah seneng jadi malah makin seru aja kalo ngelakuinnya reramean dan ada motivasi lain-medali-misalnya. HAHAHAHA
Selain itu, buat ngejawab tantangan ke diri sendiri sebenarnya..ku anaknya ambi parah, jadi dapet ini pengen itu, dapet itu pengen yang lain lagi. Just wanna prove to my own self that I can do it. Thanks to Gerakan Mari Berbagi for the values; Living Beyond Yourself and Start from Yourself. I get happiness by living with those values! And yeahhhhhh .. I deserve it, my very first medal on 2019!!🏅

Salahkah Rindu ini Hadir?

Tuesday, February 21, 2017

mungkin terlalu egois jika kukatakan aku yang paling menderita
terlalu egois jika kukatakan aku yang paling banyak menyimpan luka
terlalu egois jika kukatakan hanya aku yang begitu berduka

aku tak pernah tahu dan tak bernah bisa menebak apa yang ada dipikiran dan hati mereka
itulah mengapa berulang kali kukatakan
"cowok tuh susah ditebak, ngga bisa dimengerti"
namun satu yang kutahu, mereka tidak baik-baik saja, pula denganku

lalu, salahkah rindu ini hadir ?
salahkah jika aku masih menanti ?
salahkah jika aku terus bertahan ?
salahkah jika aku ingin tetap menyebut kalian malaikat tanpa sayapku ?
para lelakiku ?
candu hidupku ?
ENTAHLAH.. bahkan kurasa dunia enggan menanggapi!
namun satu yang kutahu, rasa ini tak pernah salah!

sekian lama diantara mereka, pun sampai detik ini
tak ada daya untukku mampu seperti mereka.
kurasa mustahil.. terlalu sulit, terlalu keras, terlalu menyakitkan..

air mata ini tak pernah sanggup untuk sembunyi,
bahkan hanya ketika tersentil sekelumit kata kenangan
air mata ini tak henti mengalir,
bahkan hanya ketika sekelebat gambar bersama itu muncul
jauh berbeda dengan mereka,
bahkan mungkin kebohongan mampu mereka lakukan
menutupi rasa, mencoba membuang luka
mencoba abaikan rasa, yang jelas begitu berharga

salahkah RINDU ini hadir ? kuharap dengan serentak kalian menjawabnya dengan satu kata; TIDAK !

Jangan Sadarkan Mahasiswa: Idealis atau Apatis?!

Sunday, February 19, 2017


Semakin banyak orang tua yang menyadari bahwa pendidikan memang lah hal yang penting, hingga akhirnya sebagian besar dari mereka berjuang keras agar bisa menitipkan anak-anak mereka di dunia Universitas untuk mengenyam bangku pendidikan. Entah kesadaran mereka didapatkan dari paksaan anak-anaknya yang ingin kuliah, sadar bahwa pendidikan merupakan salah satu kunci agar anaknya bisa lebih sukses dari mereka atau bahkan hanya karena sadar bahwa saat ini “gelar sarjana” seolah menjadi keharusan, yang terpenting tidak sedikit anak-anak manusia di abad ke 21 ini yang bertitel MAHASISWA.
Keberagaman kesadaran itu pula yang memicu banyaknya jenis-jenis mahasiswa masa kini. Pada tahun 1960an, mahasiswa dikenal sebagai orang-orang terpelajar yang penuh semangat muda dalam mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah dan kemudian bergerak memperjuangkan kebutuhan masyarakat kecil nan tertindas dengan berragam cara. Mereka dengan jiwa idealismenya mampu beraksi untuk meruntuhkan rezim-rezim yang dianggap merugikan, meskipun belum ada solusi yang sempurna untuk perubahan bangsa. Setidaknya mereka mengerti bahwa menjadi mahasiswa bukan sekedar mencari gelar sarjana tanpa implementasi ilmu yang mereka peroleh saat masih bergelar mahasiswa. Menjadi mahasiswa bukan sekedar mendapat nilai dan IP yang tinggi, melainkan mulai belajar mendapatkan kebutuhan-kebutuhan hidup di masa yang akan datang seperti link/jaringan, dana tambahan, dsb. Ditambah lagi, kondisi pada masa itu tidak lah senyaman sekarang dimana jumlah Universitas yang masih terbatas terutama fasilitasnya dan biaya kuliah yang mungkin lebih sulit untuk didapatkan. Namun, keadaan tersebut tidak membuat mereka mati dalam kungkungan IP, dosen serta kebijakan-kebijakan kampus hingga pemerintah.
Jika mahasiswa jaman 60an masih ada, mungkin mereka akan sangat bersyukur karena bukan menjadi mahasiswa saat ini. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terkadang justru membuat mahasiswa yang belum mampu memahaminya dengan benar terkesan menjadi amburadul, meski tidak sedikit juga dari mereka yang tidak kalah hebatnya dengan mahasiswa 60an tersebut. Sepertinya saat ini mahasiswa sudah dipandang luas oleh masyarakat, mulai dari pandangan masyarakat kepada mahasiswa dari kalangan berada, dibawah rata-rata, penerima beasiswa, dsb.

Mahasiswa Normal
Mahasiswa “borju” dengan bekingan dimana-mana akan menyelesaikan kuliahnya dengan cepat karena tidak perlu repot-repot untuk membuat seminar, cukup menghubungi “dekengan” dari dirinya sendiri atau yang lebih memalukan dari orang tuanya untuk membeli skripsi buatan orang atau menyisakan sedikit hartanya untuk membuat penguasa kampus bersedia membubuhkan tanda tangan pada ijasah sampahnya. Atau jika mereka ingin, mereka juga bisa menghabiskan 6-8 tahun masa muda mereka di bangku kuliah karena masih ingin bersenang-senang dengan gemerlapnya dunia malam melalui dugem. Berkompetisi satu sama lain untuk mendapatkan pengakuan siapa yang lebih populer karena peralatan-peralatan terbaru mereka, gadget mewah, kendaraan pribadi yang kinclong, merek-merek pakaian yang dipakai di luar hingga dalam yang susah diucapkan, belanja jutaan rupiah lalu berlomba-lomba membuat pesta ulang tahun dari hasil mengemis ke orang tua, hingga pulang larut malam ke kos yang dihuni campuran makhluk-makhluk penuh nafsu di kos atau bahkan rumah tanpa penjaga. Kemudian, menganggapnya sebagai sebuah kebanggaan karena sudah berani melakukan hal-hal yang dianggap luar biasa (gilanya).
Deskripsi mahasiswa diatas seolah menunjukkan bahwa yang borju selalu negatif dengan kekurangan disana-sini. Lalu, apakah mahasiwa yang positif dan benar-benar dianggap sebagai harapan bangsa itu yang cerdas dengan nilai penuh A & B, IP selalu di atas 3,8 tetapi begitu lulus hanya bekerja untuk duit dan menjadi babu perusahaan? Kemudian IP yang mereka agung-agungkan selama ini hanya menjadi sampah karena tidak tahu bagaimana menerapkannya secara realita, ikut seminar di banyak tempat tetapi hanya mengincar sertifikat semata. Atau mungkin mahasiswa adalah mereka yang berhasil mendapat beasiswa sehingga tidak perlu membebani biaya kuliah kepada orang tua, tetapi begitu di kampus hanya untuk kuliah-pulang tanpa tahu ada banyak organisasi yang bisa mereka ikuti untuk mempertajam otak mereka, manut dengan dosen yang maunya ini itu padahal mahasiswa lah yang berhak mendapatkan apa yang mereka sendiri mau, bukan menuruti apa maunya dosen. Lebih parah lagi jika yang disebut mahasiswa adalah mereka (mahasiswa beasiswa) yang begitu tunduk dengan berbagai aturan kampus dan lembaga pemberi mereka kehidupan dimana “harusnya” mereka sadar itu menyulitkan bahkan merugikan, tetapi mereka memilih stay cool dengan alasan mencari aman agar tetap bisa makan dan duduk di depan dosen untuk mendulang materi perkuliahan. Percayalah, menjalani kehidupan tidak hanya sekedar menjawab dan menganalisa teori pada sebuah kertas ujian!

Mahasiswa Aktivis

“Di Indonesia ini hanya ada dua pilihan, menjadi idealis atau apatis – Soe Hok Gie”

Mereka yang (mungkin) tidak apatis pasti lah tidak akan diam saja ketika gelar mahasiswa masih disandangnya. Banyak hal yang bisa dimanfaatkan hanya kerna gelar tersebut, menjadi aktivis salah satunya. Mahasiswa aktivis juga ternyata berragam jenisnya, dari yang memang benar-benar murni hingga yang banyak modusnya. Modus untuk mendapatkan banyak kenalan, gebetan hingga pacar, ada juga untuk mendapatkan jabatan dan dana. Ada juga aktivis dadakan atau part-timer yang hanya muncul ketika acara-acara tertentu saja (jaman SMA banget). Aktivis yang berjuta ide tetapi zonk setiap pelaksanannya juga terkadang mendominasi serta kebalikannya, aktifis yang hanya benar-benar giat ketika praktik di lapangan. Lebih unik lagi, aktivis yang berada di banyak tempat, mereka selalu ada dimana-mana, tetapi sayangnya mereka tidak kemana-mana. Aktifis modus tentu saja berbeda jauh dengan aktivis murni yang hanya kembali ke dunia kuliah ketika mereka sudah selesai mengemban tugas mereka di organisasi mereka. para aktivis murni juga tidak pernah main-main ketika menentukan kemana mereka melangkah, mereka memiliki ideologi yang kuat. Mereka memikirkan kemana arah dan tujuan mereka berorganisasi, pegangan apa yang organisasi tersebut miliki sehingga mereka akhirnya yakin untuk bergabung di dalamnya. Tidak hanya sekedar menganggap bahwa keislaman dan ideologinya, sekuler-kapitalisme, sosial-komunis atau nasionalisme menarik dan keren kemudian tanpa berpikir matang mencemplungkan diri mereka ke dalam bagian tersebut. Mereka yang memiliki idiologi tinggi ini mungkin bisa dianggap tidak berotak tumpul, mereka pasti peka dan sensitif dengan keadaan disekitarnya sehingga karakter mereka juga terbentuk dengan kuat.
Hal ini jelas bertolak belakang dengan mereka yang memilih untuk netral, apatis dan tidak mengenal pemikiran-pemikiran kritis terhadap situasi yang terjadi. Mereka akan dengan mudah terinjak akan hal-hal baru karena belum memiliki landasan dan pegangan yang kuat. Mereka hanya hidup sebatas mengenal aksi dan reaksi dari perbuatan, tetapi tidak pernah mempersiapkan dan mempertanyakan mengenai pijakan hidup mereka. Perlu ditanamkan pada masing-masing individu bahwa sikap apatis merupakan kejahatan. Membiarkan sebuah kejahatan adalah bagian dari kejahatan yang lebih dalam lagi.

Sumber: Chio. (2010). Jangan Sadarkan Mahasiswa. Anomali

Sahabat Surga

Sunday, February 12, 2017


Bersahabatlah dengan orang-orang yang keadaannya bisa menunjukkan kamu ke jalan Allah”

Terima kasih telah menjemputku dari kejahiliyahan
Lalu mendekatkan pada Ia Yang Maha Segalanya.

Terima kasih pula dengan tanpa segan selalu menegur
Dikala iman diri teramat lemah
Dan maafkan karna pernah merasa iri pada persahabatan lain yang saling peluk melepas duka, padahal persaudaraan kita penuh untaian doa
Dan  nasihat menuju surga yang tak ada habisnya

Kelak, jika kalian tidak menemukanku di surga,
Maka tanyakanlah tentang aku kepada Allah.
Jemput aku untuk yang kedua kalinya,
Agar  bisa menikmati surga yang sesungguhnya bersama-sama! ❤️


Sulung, Jakarta, dan Lelaki Pilihan

Saturday, February 11, 2017

Boleh aku bercerita? Kali ini tentang nasihat ayah pada putri sulungnya yang baru 4 hari menginjakkan kaki di gubuk tercinta, namun sudah hendak kembali ke kota untuk bekerja dan melangkahkan usaha mengambil S2. Ditulis dalam Bahasa Indonesia meski dengan ejaan yang tak sempurna, tapi mudah-mudahan lebih mengena.

Seperti biasa, setiap akan kembali ke tanah rantau, sang ayah akan mengendap perlahan menuju tempat anak berkemas untuk menyuarakan keinginannya dalam bentuk tausyiah kilat.
"Diperiksa lagi benar-benar, jangan sampai ada yang tertinggal", ucapnya sambil memandang anaknya. Sang anak diam seolah tak mendengar, tetapi dengan pasti menunggu kata berikutnya.
"Dihati2 badannya, kerjanya, yang sungguh-sungguh biar berkah. Masalah sim dan motor mau gimana jadinya?"
Kali ini anak gadis tahu ia harus bersuara, meski juga tahu bahwa pertanyaan Bapaknya hanya sebagai jeda nasihat berikutnya. Ia pun menjawab sekenanya, sesuai rencana A-B yang memang sudah ia punya.
"Ya udah kalo gitu, apa2 itu kan harus ada solusi mau seperti apa langkah yang diambil. Kalau memang ada keinginan sekolah lagi, ya segera, dipikir2 lagi, jangan ditunda-tunda. Kalau mau kerja ya langkah-langkahnya mau gimana, seperti apa. Mumpung umur masih mencukupi."
Sekali lagi, sepertinya si gadis akan kembali bersorak karena sudah pasti berhasil menebak apa yang akan dikata Sang Bapak berikutnya.
"Bukannya ga butuh harta atau g mau ngejar dunia, butuh ya butuh, pengen cukup ya iya. Tapi kan yang namanya orang hidup itu g bisa sendiri, butuh orang lain. Harus ada  keturunan yang melanjutkan k generasi berikutnya. Biar lingkaran silaturahmi itu terus ada, makin banyak."
Sudah pasti lah mengarah ke sana. Padahal jauh-jauh hari sebelumnya, sang anak sempat sedikit mengancam untuk tidak suka dibahas tentang "begituan". Bahkan ketika anak laki-laki dari kakak sang Ibu dikabarkan mencari tanggal untuk bertunangan, ia secara sergap mengingatkan "Bapak jangan meri, jangan iri. Aku belum pengen, masih lama", ucapnya setengah bercanda. Masih sedikit kesal, ia tetap mendengar ayahnya melanjutkan perbincangan sebelah pihak.
"Yang pertama dan utama pokoknya harus seiman, paling tidak ya tahu agama. Tahu bukan sekedar tahu saja, tapi mengerti. Ya memang, yang beragama banyak juga cacatnya, banyak yang bermaksiat. Tapi seenggaknya niat dan jalannya menuju akhirat. Kalo ngerti agama, itu insyaAllah tahu landasan berkeluarga. Jauh dekat yang penting tanggungjawab, mau usaha. Orang yang mau tanggungjawab ya komitmennya pasti kuat, ga mungkin sembarangan. Hati-hati." Nasihat diakhiri dengan helaan nafas cukup berat dari sang ayah. Anaknya pun tak jauh lebih berat ketika mencoba menyerap ucapan. Tak ada satu aksara pun hendak dikeluarkan, diam dan melanjutkan bebenah. Memang, tak ada satu kata "jodoh" atau "pasangan" yang baru saja ia ungkap pada pada anaknya, tapi anaknya kini semakin pintar memakna setiap kata. sepertinya, anaknya hanya belum siap berdebat perihal itu.
Sang ayah seolah paham, ia lantas segera memanggil istrinya untuk bergegas menyiapkan motor dan ia kembali sibuk di kandang.
Dalam hati, gadis ini penuh kecamuk, ingin rasanya ia memberi jawaban pada kekhawatiran dan harapan Bapaknya. Hingga akhirnya tulisan ini yang jadi wakilnya,
"Bapak, maaf! Maafkan anakmu yang sejak 5 tahun lalu memutuskan untuk pergi dan belum berniat untuk kembali. Anakmu kini memilih "rumah" hanya sebagai "tempat singgah". Maaf sekali. Anakmu sudah teracuni, oleh berjuta warna di luar sana, oleh gemerlapnya dunia kota di balik Jepara, oleh suksesny orang-orang dengan pendidikan, agama, atau harta. Anakmu ingin menjadi salah satu-dua-atau tiganya. Semata-mata, sulungmu sadar benar ia tak boleh tinggal diam, ketika adik-adiknya tak mungkin hanya bergantung pada orang tua. Ketika orang tuanya tak mungkin terus muda. Ketika dunia di sekitarnya membutuhkan dia, yang tak mungkin ia dapat bergerak jika dengan tangan kosong. Anakmu butuh modal untuk itu semua; agama, pendidikan, dan harta adalah sebagian jawabannya.
Bapak, aku sudah terlanjur basah. Tak mau jika harus bergegas untuk mengeringkan diri. Anakmu pun ingin membedakan, misalnya, bagaimana rasa air tawar dan air laut. Air telaga dan air rawa. Air di Jepara dan Jakarta. Air Indonesia dan air Eropa. Ijinkan anakmu berkelana, Pak, berkelana dengan tujuan, berkelana dengan alasan, yang mudah-mudahan di jalan Tuhan. Mungkin dulu berawal dari ego anakmu untuk meninggikan derajatmu dan istrimu, agar dikenal sebagai sosok orang tua hebat meski hanya tukang rosok, sosok orang tua kuat meski hanya seorang blantik dan mantan penggali sumur. Namun, kini asaku lebih tinggi, mudah-mudahan memang pamrih dan riya segera hilang seiring mapannya diri. Anakmu tak ingin berhasil sendiri, atau hanya membahagiakan sanak famili, anakmu pun ingin berbagi pada orang-orang yang perlu diberi.
Bapak, dalam diam dan berontakku perihal itu, bukan ku tak berharap, apa lagi tak khawatir tentang sosok pendamping. Justru anakmu lah orang pertama yang paling mawas diri. Ia paham benar usianya tak lagi belia. Namun, miris, belum ada pria yang didamba, belum konsisten nama yang ia bawa dalam doa, dekat-didekati-mendekati pria pun belum ada, bahkan tak terbayang ia bersama dengan siapa nantinya, akan seperti apa perjalanan kasihnya, sungguh belum terbayang. Anakmu yang menjalaninya, Pak. Tidak kah kau rasa ia tak bersedih hati? Sementara perlahan tapi pasti gadis seusianya mendapat tambatan hati, ia masih bersama lingkaran para lelaki yang selalu dianggap saudara sendiri. Tidak kah ia sering memikirkannya? Ia hanya bersyukur, nama Tuhan masih ada dalam dirinya. Sehingga, Asa menutupi kekhawatirannya akan calon imam. Cita-cita dan kepercayaan melebihi ketakutan jika ia tak segera mendapat pasangan.
Sesungguhnya, anakmu tak pernah benar-benar tenang, Pak! Jika kau menambah dengan kekhawatiran atas harapanmu, tidak kah ia semakin pilu? Dukungan dan doa senantiasa ia butuhkan.
Biarkan anakmu melanjutkan apa yang telah ia lukis, Pak.. Tak perlu kau cela, pujian dan arahan pasti akan lebih berguna.
Terima kasih, Pak.. Protes positifmu menambah syukurku atas peduli luar biasamu. Jaga kesehatanmu, anakmu akan terus memberi kabar untuk kebahagiaanku dan adik-adikku yang insyaAllah tak henti padam"

Semoga kalian yang membaca berkenan mengaminkan, untuk sepenggal kisah "nikah-nikah" dari seorang Bapak untuk anak gadis tertua manjanya.

Perjalanan Jepara-Jakarta
9 Juli 2016

Pelabuhan Terakhirmu

Thursday, February 9, 2017

Kau tahu,
Ada yang bilang bahwa sejak awal,
sesungguhnya kau telah memilihku,
tepatnya mempertimbangkanku sebagai pilihanmu.
Hanya saja, kau masih begitu gemar untuk memilih ke sana kemari,
mencari orang mana yang tepat dan layak untuk menjadi pendampingmu.
Namun, mereka bilang, pada akhirnya,
padaku lah kau akhirnya temukan rumah kenyamanan

Kau tahu,
Bagaimana reaksiku begitu mendengar celotehan itu?
Kurasa senyumku menjelaskan makna dengan lugas
Bahwa dalam hati, kata amin berdentum dengan keras
Tak apa jika harus kujaga diri dan hati
Jika memang padaku lah akhirnya kau melabuhkan diri

Kau tahu,
Malam ini ak mengulas masa lalumu
Kembali tersadar, kau selalu mencintai mereka secara penuh
Sayang, wanita-wanita menyianyiakanmu begitu saja
Merugi sekali mereka
Sungguh, jika nanti kau dapati seorang wanita,
bukan kau yang akhirnya merasa beruntung.
Wanita mu itu lah yang harus berbangga dan penuh bahagia.
Kau sosok yang hebat, Mas!
Aku bersedia menunggumu, kumohon, jangan terlambat menjemputku..

Madura, 31 Desember 2016
#30DWC #Day9 #squad1

Rindu Ibu Memuncak di Februari

Tuesday, February 7, 2017

Aku yang dalam keadaan tak biasa
Sekian lama bermasalah dengan rasa
Lalu kutengok kanan kiri mata
Sayang, tak kutemukan manusia untuk cerita

Bukan ku lelah mengadu padaMu, Tuhan
Bukan pula ku hilang percaya atas doa kupanjatkan
Apalagi memilih melenggang meninggalkan pertemuan kita di tengah malam

Sungguh, aku hanya rindu tangan kananMu, Tuhan
Manusia, yang tanpa restunya tak kan Kau indahkan kehidupan
Wanita, yang tanpa ridhonya tak kan Kau berikan kemudahan
Perempuan, yang tanpa ijinnya tak kan Kau menguatkan

Rindu ini melemahkan
Membuatku kembali menimbang
Sanggup kah jika akhirnya kubuat ia khawatir karena rantauku terlampau jauh?

Duh! Ibu.. aku tengah membicarakanmu.

Ibu, kau tahu..
Aku tengah berurusan dengan cinta
Yang belum kutahu bagaimana akhirnya
Sudikah kau peluk aku?
Jadikan kehangatanmu sebagai penawar duka
Akan kepastian yang tak kunjung jua

Ibu,
Aku rindu..
Barang bercengkrama, mengungkap bahwa ku ingin bersama
Dengan ia yang tengah dalam ikhtiar menggapai cita, juga cinta (sepertinya)

Ibu, bolehkah kuakhiri masa di Ibukota?
Lalu kembali menikmati riuh tawa bersama?
Sebelum akhirnya aku resmi menjadi dewasa
Dan membangun keluarga

Ibu, Februari menjadi puncakku memendam rasa
Tiga minggu tak bersua meski dalam suara
Sekian bulan tak saling pandang mata
Ah, Ibu! Bantu aku lalui Februari secepatnya
Sungguh, lelah kulaluinya..

Ibu.. Kumohon sehat lah selalu!
Karena rinduku, belum berlalu..

Jakarta, 7 Februari 2017
11.40 PM