Teruntuk
anak petani yang semakin gemar berbagi; Maizal Walfajri
Ada hal-hal yang tak pernah dapat
dipinta; salah satunya memilih siapa orang tua kita. Tuhan Yang Maha Segala
membatasi kemampuan makhlukNya. Ia lah yang berkuasa menunjuk rahim siapa
berisi siapa, terlahir dari si kaya atau bahkan jauh dari sederhana, dibesarkan
oleh yang langsung dikenal tanpa menyebutkan nama atau bahkan tak pernah sekalipun
dianggap ada. Demikian pula dengan bujang Padang Panjang yang lahir 22 silam
ini, dia tak pernah memilih untuk tumbuh menjadi sosok yang akhirnya cinta
pendidikan justru bersama orang tua dengan pekerjaan yang dianggap akan
mewariskan ilmu agar anak-anaknya hidup sampai tua dengan pekerjaan yang sama;
Petani Desa.
Ialah Maizal Walfajri, anak ke-empat
dari 5 bersaudara yang bercita-cita menjadi seorang dokter. Namun, siapa sangka
ia kini menikmati pendidikannya di salah satu perguruan tinggi ternama dengan
jurusan Ilmu Komunikasi di Bandung. Jangan kan berkaitan dengan cita-cita,
keinginannya pun jauh dari sana. Lagi dan lagi, manusia memang ada batas
kemampuannya, seringkali ia mendapat apa yang mereka butuhkan, bukan inginkan.
Tentu hanya Tuhan yang mampu mengetahuinya bukan? Mai, begitu ia disapa, yang
semasa kelas 3 SMA hanya mengincar satu Universitas dengan predikat salah satu
yang terbaik di Indonesia bernama ITB dengan jurusan Teknik Industri dan
Mikrobiologi, justru jatuh pada pilihan terakhirnya yang dengan asal ia tulis
saat pendaftaran; Universitas Padjajaran. Menyesalkah ia berdiri di tempatnya
saat ini? Ia justru bersyukur, Tuhan Memang Maha Sempurna dalam menunjukkan
kebutuhan nurani ciptaanNya, bukan sekedar memberi apa yang manusia inginkan.
Berawal dari keberuntungan tak disengaja
itulah akhirnya Maizal terseret dan terkena candu pada bagaimana dunia sosial,
terutama pendidikan yang bahkan dalam kesederhanaannya masih dapat memberi
arti. Pengalaman yang ia geluti dibidang social atau pun pendidikan memang
belum lah lama, tapi setidaknya apa yang ia dapat telah memberi banyak makna
hingga membuat ia betah untuk semakin lama berada di lingkaran itu. Jika pada
awalnya ia hanya iseng untuk mendaftar menjadi seorang volunteer pada projek
pertama di tahun 2015, sekarang ia bahkan mendapat kepercayaan untuk menjadi koordinator
projek kedua di sebuah komunitas bernama Satu Ton untuk Papua (STUP). STUP
adalah sebuah komunitas yang peduli akan pendidikan untuk anak-anak yang berada
di Papua. Para volunteer di dalamnya mengumpulkan berbagai macam bahan
penunjang belajar seperti buku bacaan, buku pelajaran, alat tulis, dan
permainan edukatif untuk dikirimkan ke Papua. Tidak hanya itu, salah satu
volunteer hadir ditengah-tengah adik-adik Papua untuk mengajar mereka di sebuah
rumah yang sama-sama mereka bangun bernama Honai Mimpi. Sebelum berada di
komunitas itu, saat tahun pertama hingga tahun ketiga ia kuliah, lelaki yang
mengaku memiliki hobi membaca ini bergabung pada salah satu Unit Kegiatan
Mahasiswa (UKM) di fakultasnya bernama Kelompok Jatinangor 21. Mai juga pernah
menjadi panitia program BEM Kema Unpad Kementerian Pengabdian di tahun kedua
kuliah dan juga pernah terlibat dalam Traveling and Teaching (TNT) oleh 1000
Guru Bandung di SMPTN Cicalengka, Jawa Barat. Dunia ini pula yang mengantarnya
untuk berkesempatan bertemu dengan Butet Manurung, pendiri Sakola Rimba, saat menjadi
panitia Diskusi Pendidikan antara Sakola Rimba dan 1000 Guru Bandung. Ia masih
ingat salah satu hasil diskusi tersebut, “peduli saja tidak cukup, jika kita
ingin peduli, lakukan hal yang tetap menjadikan yang kita pedulikan itu menjadi
dirinya sendiri”. Ia pun mengaku benar telak pada pernyataan tersebut.
Dalam keseharian di tempat kuliah,
Maizal juga cukup berbeda dengan teman-teman seperjuangannya. Pasalnya, jika
mahasiswa lainnya memilih menghabiskan waktu liburan kuliah mereka untuk
liburan ke tempat-tempat wisata atau di kampung halamannya, pemuda yang lahir
di tanggal 16 Juli ini justru hobi sekali untuk mengisinya dengan magang,
magang, dan magang. Alhasil, pengalaman magangnya telah membawa ia di tempat-tempat
ternama seperti Harian Kontan, Kantor Staff Kepresidenan, dan kini ia masih
menyelesaikan bulan Agustusnya untuk berada di media televisi (yang katanya)
masa kini, NET. TV. Menurut pemuda yang
berniat akan meneruskan S2 sebelum menjadi pendidik mahasiswa ini, dalam magang
ia pun sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kawan sebaya, ia tetap bisa
nongkrong dan bermain hanya saja manfaatnya jauh lebih terasa, terutama saat ia
bisa bertemu dengan orang-orang baru yang notabennya bukan orang-orang biasa.
Perihal sosok-sosok yang berada dibalik
tirai keistimewaan seorang Maizal, ia mengaku bahwa kedua petani yang terkesan
memaksakan diri untuk menyekolahkan kelima anaknya lah yang menjadi inspirator
terbesar dalam hidupnya. Adalah yang ia panggil dengan sebutan Ayah dan Umi ini
lah ia belajar banyak hal tentang kehidupan, terutama dalam memperjuangkan
pendidikan. Kebanggan Maizal pada mereka tak semata-mata karena mereka adalah
orang tua, lebih dari itu, mereka berbeda dari kebanyakan petani lainnya. Dari
keluarga petani yang sangat sederhana, tetapi menekankan kehangatan keluarga
ini lah lahir 2 orang sarjana, satu lagi tengah menempuh program magisternya,
bungsunya masih di SMP, dan Maizal sendiri tengah memperjuangkan skripsinya
agar segera wisuda. Jika saja orang tuanya tak segigih ini dalam menyekolahkan
anak-anaknya, mungkin saja Maizal yang selanjutnya berencana bergabung di
Indonesia Mengajar ini tak akan mengenal pulau di luar Sumatera bahkan kuliah
di Pulau Jawa. Ia beserta ke 4 saudaranya barangkali akan terus bersama untuk
ke sawah dan ladang di setiap harinya. Meski ayahnya bahkan tak tamat SD,
tetapi ia menjunjung tinggi nilai dan norma positif dalam keluarga. Sejak
kecil, Maizal beserta para saudara belajar demokrasi, mengungkapkan dan menghargai
pendapat, dan tentunya bertanggungjawab. Meski dalam skala kecil berupa
keluarga, nyatanya mampu memberikan perubahan yang berarti di keseharian
anak-anaknya hingga dewasa. Kedua petani ini pula yang akhirnya menjadikan
seorang pecinta kopi dan film ini terjun di bidang sosial-pendidikan. Ia tak
mau hanya ada 5 anak desa seperti dia yang merasakan indahnya pendidikan dan
semangat positif untuk terus berkembang dan berbagi. Semangat-semangat berbagi
itu semakin berkobar tatkala ia justru merasa “menerima” ketika ia “berbagi”.
Tak ada rasa kehilangan atas sesuatu yang ia berikan pada orang lain,
sebaliknya, ia menerima reminder dari
Tuhan melalui orang-orang yang mereka bagi untuk terus hidup dalam kerendahan
hati dan penuh syukur pada Ilahi.
Ditulis oleh seorang pendidik yang gemar
menelisik; Mu’azzatul Faridah
0 comments:
Post a Comment