It's my life...



Salahkah Rindu ini Hadir?

Tuesday, February 21, 2017

mungkin terlalu egois jika kukatakan aku yang paling menderita
terlalu egois jika kukatakan aku yang paling banyak menyimpan luka
terlalu egois jika kukatakan hanya aku yang begitu berduka

aku tak pernah tahu dan tak bernah bisa menebak apa yang ada dipikiran dan hati mereka
itulah mengapa berulang kali kukatakan
"cowok tuh susah ditebak, ngga bisa dimengerti"
namun satu yang kutahu, mereka tidak baik-baik saja, pula denganku

lalu, salahkah rindu ini hadir ?
salahkah jika aku masih menanti ?
salahkah jika aku terus bertahan ?
salahkah jika aku ingin tetap menyebut kalian malaikat tanpa sayapku ?
para lelakiku ?
candu hidupku ?
ENTAHLAH.. bahkan kurasa dunia enggan menanggapi!
namun satu yang kutahu, rasa ini tak pernah salah!

sekian lama diantara mereka, pun sampai detik ini
tak ada daya untukku mampu seperti mereka.
kurasa mustahil.. terlalu sulit, terlalu keras, terlalu menyakitkan..

air mata ini tak pernah sanggup untuk sembunyi,
bahkan hanya ketika tersentil sekelumit kata kenangan
air mata ini tak henti mengalir,
bahkan hanya ketika sekelebat gambar bersama itu muncul
jauh berbeda dengan mereka,
bahkan mungkin kebohongan mampu mereka lakukan
menutupi rasa, mencoba membuang luka
mencoba abaikan rasa, yang jelas begitu berharga

salahkah RINDU ini hadir ? kuharap dengan serentak kalian menjawabnya dengan satu kata; TIDAK !

Jangan Sadarkan Mahasiswa: Idealis atau Apatis?!

Sunday, February 19, 2017


Semakin banyak orang tua yang menyadari bahwa pendidikan memang lah hal yang penting, hingga akhirnya sebagian besar dari mereka berjuang keras agar bisa menitipkan anak-anak mereka di dunia Universitas untuk mengenyam bangku pendidikan. Entah kesadaran mereka didapatkan dari paksaan anak-anaknya yang ingin kuliah, sadar bahwa pendidikan merupakan salah satu kunci agar anaknya bisa lebih sukses dari mereka atau bahkan hanya karena sadar bahwa saat ini “gelar sarjana” seolah menjadi keharusan, yang terpenting tidak sedikit anak-anak manusia di abad ke 21 ini yang bertitel MAHASISWA.
Keberagaman kesadaran itu pula yang memicu banyaknya jenis-jenis mahasiswa masa kini. Pada tahun 1960an, mahasiswa dikenal sebagai orang-orang terpelajar yang penuh semangat muda dalam mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah dan kemudian bergerak memperjuangkan kebutuhan masyarakat kecil nan tertindas dengan berragam cara. Mereka dengan jiwa idealismenya mampu beraksi untuk meruntuhkan rezim-rezim yang dianggap merugikan, meskipun belum ada solusi yang sempurna untuk perubahan bangsa. Setidaknya mereka mengerti bahwa menjadi mahasiswa bukan sekedar mencari gelar sarjana tanpa implementasi ilmu yang mereka peroleh saat masih bergelar mahasiswa. Menjadi mahasiswa bukan sekedar mendapat nilai dan IP yang tinggi, melainkan mulai belajar mendapatkan kebutuhan-kebutuhan hidup di masa yang akan datang seperti link/jaringan, dana tambahan, dsb. Ditambah lagi, kondisi pada masa itu tidak lah senyaman sekarang dimana jumlah Universitas yang masih terbatas terutama fasilitasnya dan biaya kuliah yang mungkin lebih sulit untuk didapatkan. Namun, keadaan tersebut tidak membuat mereka mati dalam kungkungan IP, dosen serta kebijakan-kebijakan kampus hingga pemerintah.
Jika mahasiswa jaman 60an masih ada, mungkin mereka akan sangat bersyukur karena bukan menjadi mahasiswa saat ini. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terkadang justru membuat mahasiswa yang belum mampu memahaminya dengan benar terkesan menjadi amburadul, meski tidak sedikit juga dari mereka yang tidak kalah hebatnya dengan mahasiswa 60an tersebut. Sepertinya saat ini mahasiswa sudah dipandang luas oleh masyarakat, mulai dari pandangan masyarakat kepada mahasiswa dari kalangan berada, dibawah rata-rata, penerima beasiswa, dsb.

Mahasiswa Normal
Mahasiswa “borju” dengan bekingan dimana-mana akan menyelesaikan kuliahnya dengan cepat karena tidak perlu repot-repot untuk membuat seminar, cukup menghubungi “dekengan” dari dirinya sendiri atau yang lebih memalukan dari orang tuanya untuk membeli skripsi buatan orang atau menyisakan sedikit hartanya untuk membuat penguasa kampus bersedia membubuhkan tanda tangan pada ijasah sampahnya. Atau jika mereka ingin, mereka juga bisa menghabiskan 6-8 tahun masa muda mereka di bangku kuliah karena masih ingin bersenang-senang dengan gemerlapnya dunia malam melalui dugem. Berkompetisi satu sama lain untuk mendapatkan pengakuan siapa yang lebih populer karena peralatan-peralatan terbaru mereka, gadget mewah, kendaraan pribadi yang kinclong, merek-merek pakaian yang dipakai di luar hingga dalam yang susah diucapkan, belanja jutaan rupiah lalu berlomba-lomba membuat pesta ulang tahun dari hasil mengemis ke orang tua, hingga pulang larut malam ke kos yang dihuni campuran makhluk-makhluk penuh nafsu di kos atau bahkan rumah tanpa penjaga. Kemudian, menganggapnya sebagai sebuah kebanggaan karena sudah berani melakukan hal-hal yang dianggap luar biasa (gilanya).
Deskripsi mahasiswa diatas seolah menunjukkan bahwa yang borju selalu negatif dengan kekurangan disana-sini. Lalu, apakah mahasiwa yang positif dan benar-benar dianggap sebagai harapan bangsa itu yang cerdas dengan nilai penuh A & B, IP selalu di atas 3,8 tetapi begitu lulus hanya bekerja untuk duit dan menjadi babu perusahaan? Kemudian IP yang mereka agung-agungkan selama ini hanya menjadi sampah karena tidak tahu bagaimana menerapkannya secara realita, ikut seminar di banyak tempat tetapi hanya mengincar sertifikat semata. Atau mungkin mahasiswa adalah mereka yang berhasil mendapat beasiswa sehingga tidak perlu membebani biaya kuliah kepada orang tua, tetapi begitu di kampus hanya untuk kuliah-pulang tanpa tahu ada banyak organisasi yang bisa mereka ikuti untuk mempertajam otak mereka, manut dengan dosen yang maunya ini itu padahal mahasiswa lah yang berhak mendapatkan apa yang mereka sendiri mau, bukan menuruti apa maunya dosen. Lebih parah lagi jika yang disebut mahasiswa adalah mereka (mahasiswa beasiswa) yang begitu tunduk dengan berbagai aturan kampus dan lembaga pemberi mereka kehidupan dimana “harusnya” mereka sadar itu menyulitkan bahkan merugikan, tetapi mereka memilih stay cool dengan alasan mencari aman agar tetap bisa makan dan duduk di depan dosen untuk mendulang materi perkuliahan. Percayalah, menjalani kehidupan tidak hanya sekedar menjawab dan menganalisa teori pada sebuah kertas ujian!

Mahasiswa Aktivis

“Di Indonesia ini hanya ada dua pilihan, menjadi idealis atau apatis – Soe Hok Gie”

Mereka yang (mungkin) tidak apatis pasti lah tidak akan diam saja ketika gelar mahasiswa masih disandangnya. Banyak hal yang bisa dimanfaatkan hanya kerna gelar tersebut, menjadi aktivis salah satunya. Mahasiswa aktivis juga ternyata berragam jenisnya, dari yang memang benar-benar murni hingga yang banyak modusnya. Modus untuk mendapatkan banyak kenalan, gebetan hingga pacar, ada juga untuk mendapatkan jabatan dan dana. Ada juga aktivis dadakan atau part-timer yang hanya muncul ketika acara-acara tertentu saja (jaman SMA banget). Aktivis yang berjuta ide tetapi zonk setiap pelaksanannya juga terkadang mendominasi serta kebalikannya, aktifis yang hanya benar-benar giat ketika praktik di lapangan. Lebih unik lagi, aktivis yang berada di banyak tempat, mereka selalu ada dimana-mana, tetapi sayangnya mereka tidak kemana-mana. Aktifis modus tentu saja berbeda jauh dengan aktivis murni yang hanya kembali ke dunia kuliah ketika mereka sudah selesai mengemban tugas mereka di organisasi mereka. para aktivis murni juga tidak pernah main-main ketika menentukan kemana mereka melangkah, mereka memiliki ideologi yang kuat. Mereka memikirkan kemana arah dan tujuan mereka berorganisasi, pegangan apa yang organisasi tersebut miliki sehingga mereka akhirnya yakin untuk bergabung di dalamnya. Tidak hanya sekedar menganggap bahwa keislaman dan ideologinya, sekuler-kapitalisme, sosial-komunis atau nasionalisme menarik dan keren kemudian tanpa berpikir matang mencemplungkan diri mereka ke dalam bagian tersebut. Mereka yang memiliki idiologi tinggi ini mungkin bisa dianggap tidak berotak tumpul, mereka pasti peka dan sensitif dengan keadaan disekitarnya sehingga karakter mereka juga terbentuk dengan kuat.
Hal ini jelas bertolak belakang dengan mereka yang memilih untuk netral, apatis dan tidak mengenal pemikiran-pemikiran kritis terhadap situasi yang terjadi. Mereka akan dengan mudah terinjak akan hal-hal baru karena belum memiliki landasan dan pegangan yang kuat. Mereka hanya hidup sebatas mengenal aksi dan reaksi dari perbuatan, tetapi tidak pernah mempersiapkan dan mempertanyakan mengenai pijakan hidup mereka. Perlu ditanamkan pada masing-masing individu bahwa sikap apatis merupakan kejahatan. Membiarkan sebuah kejahatan adalah bagian dari kejahatan yang lebih dalam lagi.

Sumber: Chio. (2010). Jangan Sadarkan Mahasiswa. Anomali

Sahabat Surga

Sunday, February 12, 2017


Bersahabatlah dengan orang-orang yang keadaannya bisa menunjukkan kamu ke jalan Allah”

Terima kasih telah menjemputku dari kejahiliyahan
Lalu mendekatkan pada Ia Yang Maha Segalanya.

Terima kasih pula dengan tanpa segan selalu menegur
Dikala iman diri teramat lemah
Dan maafkan karna pernah merasa iri pada persahabatan lain yang saling peluk melepas duka, padahal persaudaraan kita penuh untaian doa
Dan  nasihat menuju surga yang tak ada habisnya

Kelak, jika kalian tidak menemukanku di surga,
Maka tanyakanlah tentang aku kepada Allah.
Jemput aku untuk yang kedua kalinya,
Agar  bisa menikmati surga yang sesungguhnya bersama-sama! ❤️


Sulung, Jakarta, dan Lelaki Pilihan

Saturday, February 11, 2017

Boleh aku bercerita? Kali ini tentang nasihat ayah pada putri sulungnya yang baru 4 hari menginjakkan kaki di gubuk tercinta, namun sudah hendak kembali ke kota untuk bekerja dan melangkahkan usaha mengambil S2. Ditulis dalam Bahasa Indonesia meski dengan ejaan yang tak sempurna, tapi mudah-mudahan lebih mengena.

Seperti biasa, setiap akan kembali ke tanah rantau, sang ayah akan mengendap perlahan menuju tempat anak berkemas untuk menyuarakan keinginannya dalam bentuk tausyiah kilat.
"Diperiksa lagi benar-benar, jangan sampai ada yang tertinggal", ucapnya sambil memandang anaknya. Sang anak diam seolah tak mendengar, tetapi dengan pasti menunggu kata berikutnya.
"Dihati2 badannya, kerjanya, yang sungguh-sungguh biar berkah. Masalah sim dan motor mau gimana jadinya?"
Kali ini anak gadis tahu ia harus bersuara, meski juga tahu bahwa pertanyaan Bapaknya hanya sebagai jeda nasihat berikutnya. Ia pun menjawab sekenanya, sesuai rencana A-B yang memang sudah ia punya.
"Ya udah kalo gitu, apa2 itu kan harus ada solusi mau seperti apa langkah yang diambil. Kalau memang ada keinginan sekolah lagi, ya segera, dipikir2 lagi, jangan ditunda-tunda. Kalau mau kerja ya langkah-langkahnya mau gimana, seperti apa. Mumpung umur masih mencukupi."
Sekali lagi, sepertinya si gadis akan kembali bersorak karena sudah pasti berhasil menebak apa yang akan dikata Sang Bapak berikutnya.
"Bukannya ga butuh harta atau g mau ngejar dunia, butuh ya butuh, pengen cukup ya iya. Tapi kan yang namanya orang hidup itu g bisa sendiri, butuh orang lain. Harus ada  keturunan yang melanjutkan k generasi berikutnya. Biar lingkaran silaturahmi itu terus ada, makin banyak."
Sudah pasti lah mengarah ke sana. Padahal jauh-jauh hari sebelumnya, sang anak sempat sedikit mengancam untuk tidak suka dibahas tentang "begituan". Bahkan ketika anak laki-laki dari kakak sang Ibu dikabarkan mencari tanggal untuk bertunangan, ia secara sergap mengingatkan "Bapak jangan meri, jangan iri. Aku belum pengen, masih lama", ucapnya setengah bercanda. Masih sedikit kesal, ia tetap mendengar ayahnya melanjutkan perbincangan sebelah pihak.
"Yang pertama dan utama pokoknya harus seiman, paling tidak ya tahu agama. Tahu bukan sekedar tahu saja, tapi mengerti. Ya memang, yang beragama banyak juga cacatnya, banyak yang bermaksiat. Tapi seenggaknya niat dan jalannya menuju akhirat. Kalo ngerti agama, itu insyaAllah tahu landasan berkeluarga. Jauh dekat yang penting tanggungjawab, mau usaha. Orang yang mau tanggungjawab ya komitmennya pasti kuat, ga mungkin sembarangan. Hati-hati." Nasihat diakhiri dengan helaan nafas cukup berat dari sang ayah. Anaknya pun tak jauh lebih berat ketika mencoba menyerap ucapan. Tak ada satu aksara pun hendak dikeluarkan, diam dan melanjutkan bebenah. Memang, tak ada satu kata "jodoh" atau "pasangan" yang baru saja ia ungkap pada pada anaknya, tapi anaknya kini semakin pintar memakna setiap kata. sepertinya, anaknya hanya belum siap berdebat perihal itu.
Sang ayah seolah paham, ia lantas segera memanggil istrinya untuk bergegas menyiapkan motor dan ia kembali sibuk di kandang.
Dalam hati, gadis ini penuh kecamuk, ingin rasanya ia memberi jawaban pada kekhawatiran dan harapan Bapaknya. Hingga akhirnya tulisan ini yang jadi wakilnya,
"Bapak, maaf! Maafkan anakmu yang sejak 5 tahun lalu memutuskan untuk pergi dan belum berniat untuk kembali. Anakmu kini memilih "rumah" hanya sebagai "tempat singgah". Maaf sekali. Anakmu sudah teracuni, oleh berjuta warna di luar sana, oleh gemerlapnya dunia kota di balik Jepara, oleh suksesny orang-orang dengan pendidikan, agama, atau harta. Anakmu ingin menjadi salah satu-dua-atau tiganya. Semata-mata, sulungmu sadar benar ia tak boleh tinggal diam, ketika adik-adiknya tak mungkin hanya bergantung pada orang tua. Ketika orang tuanya tak mungkin terus muda. Ketika dunia di sekitarnya membutuhkan dia, yang tak mungkin ia dapat bergerak jika dengan tangan kosong. Anakmu butuh modal untuk itu semua; agama, pendidikan, dan harta adalah sebagian jawabannya.
Bapak, aku sudah terlanjur basah. Tak mau jika harus bergegas untuk mengeringkan diri. Anakmu pun ingin membedakan, misalnya, bagaimana rasa air tawar dan air laut. Air telaga dan air rawa. Air di Jepara dan Jakarta. Air Indonesia dan air Eropa. Ijinkan anakmu berkelana, Pak, berkelana dengan tujuan, berkelana dengan alasan, yang mudah-mudahan di jalan Tuhan. Mungkin dulu berawal dari ego anakmu untuk meninggikan derajatmu dan istrimu, agar dikenal sebagai sosok orang tua hebat meski hanya tukang rosok, sosok orang tua kuat meski hanya seorang blantik dan mantan penggali sumur. Namun, kini asaku lebih tinggi, mudah-mudahan memang pamrih dan riya segera hilang seiring mapannya diri. Anakmu tak ingin berhasil sendiri, atau hanya membahagiakan sanak famili, anakmu pun ingin berbagi pada orang-orang yang perlu diberi.
Bapak, dalam diam dan berontakku perihal itu, bukan ku tak berharap, apa lagi tak khawatir tentang sosok pendamping. Justru anakmu lah orang pertama yang paling mawas diri. Ia paham benar usianya tak lagi belia. Namun, miris, belum ada pria yang didamba, belum konsisten nama yang ia bawa dalam doa, dekat-didekati-mendekati pria pun belum ada, bahkan tak terbayang ia bersama dengan siapa nantinya, akan seperti apa perjalanan kasihnya, sungguh belum terbayang. Anakmu yang menjalaninya, Pak. Tidak kah kau rasa ia tak bersedih hati? Sementara perlahan tapi pasti gadis seusianya mendapat tambatan hati, ia masih bersama lingkaran para lelaki yang selalu dianggap saudara sendiri. Tidak kah ia sering memikirkannya? Ia hanya bersyukur, nama Tuhan masih ada dalam dirinya. Sehingga, Asa menutupi kekhawatirannya akan calon imam. Cita-cita dan kepercayaan melebihi ketakutan jika ia tak segera mendapat pasangan.
Sesungguhnya, anakmu tak pernah benar-benar tenang, Pak! Jika kau menambah dengan kekhawatiran atas harapanmu, tidak kah ia semakin pilu? Dukungan dan doa senantiasa ia butuhkan.
Biarkan anakmu melanjutkan apa yang telah ia lukis, Pak.. Tak perlu kau cela, pujian dan arahan pasti akan lebih berguna.
Terima kasih, Pak.. Protes positifmu menambah syukurku atas peduli luar biasamu. Jaga kesehatanmu, anakmu akan terus memberi kabar untuk kebahagiaanku dan adik-adikku yang insyaAllah tak henti padam"

Semoga kalian yang membaca berkenan mengaminkan, untuk sepenggal kisah "nikah-nikah" dari seorang Bapak untuk anak gadis tertua manjanya.

Perjalanan Jepara-Jakarta
9 Juli 2016

Pelabuhan Terakhirmu

Thursday, February 9, 2017

Kau tahu,
Ada yang bilang bahwa sejak awal,
sesungguhnya kau telah memilihku,
tepatnya mempertimbangkanku sebagai pilihanmu.
Hanya saja, kau masih begitu gemar untuk memilih ke sana kemari,
mencari orang mana yang tepat dan layak untuk menjadi pendampingmu.
Namun, mereka bilang, pada akhirnya,
padaku lah kau akhirnya temukan rumah kenyamanan

Kau tahu,
Bagaimana reaksiku begitu mendengar celotehan itu?
Kurasa senyumku menjelaskan makna dengan lugas
Bahwa dalam hati, kata amin berdentum dengan keras
Tak apa jika harus kujaga diri dan hati
Jika memang padaku lah akhirnya kau melabuhkan diri

Kau tahu,
Malam ini ak mengulas masa lalumu
Kembali tersadar, kau selalu mencintai mereka secara penuh
Sayang, wanita-wanita menyianyiakanmu begitu saja
Merugi sekali mereka
Sungguh, jika nanti kau dapati seorang wanita,
bukan kau yang akhirnya merasa beruntung.
Wanita mu itu lah yang harus berbangga dan penuh bahagia.
Kau sosok yang hebat, Mas!
Aku bersedia menunggumu, kumohon, jangan terlambat menjemputku..

Madura, 31 Desember 2016
#30DWC #Day9 #squad1

Rindu Ibu Memuncak di Februari

Tuesday, February 7, 2017

Aku yang dalam keadaan tak biasa
Sekian lama bermasalah dengan rasa
Lalu kutengok kanan kiri mata
Sayang, tak kutemukan manusia untuk cerita

Bukan ku lelah mengadu padaMu, Tuhan
Bukan pula ku hilang percaya atas doa kupanjatkan
Apalagi memilih melenggang meninggalkan pertemuan kita di tengah malam

Sungguh, aku hanya rindu tangan kananMu, Tuhan
Manusia, yang tanpa restunya tak kan Kau indahkan kehidupan
Wanita, yang tanpa ridhonya tak kan Kau berikan kemudahan
Perempuan, yang tanpa ijinnya tak kan Kau menguatkan

Rindu ini melemahkan
Membuatku kembali menimbang
Sanggup kah jika akhirnya kubuat ia khawatir karena rantauku terlampau jauh?

Duh! Ibu.. aku tengah membicarakanmu.

Ibu, kau tahu..
Aku tengah berurusan dengan cinta
Yang belum kutahu bagaimana akhirnya
Sudikah kau peluk aku?
Jadikan kehangatanmu sebagai penawar duka
Akan kepastian yang tak kunjung jua

Ibu,
Aku rindu..
Barang bercengkrama, mengungkap bahwa ku ingin bersama
Dengan ia yang tengah dalam ikhtiar menggapai cita, juga cinta (sepertinya)

Ibu, bolehkah kuakhiri masa di Ibukota?
Lalu kembali menikmati riuh tawa bersama?
Sebelum akhirnya aku resmi menjadi dewasa
Dan membangun keluarga

Ibu, Februari menjadi puncakku memendam rasa
Tiga minggu tak bersua meski dalam suara
Sekian bulan tak saling pandang mata
Ah, Ibu! Bantu aku lalui Februari secepatnya
Sungguh, lelah kulaluinya..

Ibu.. Kumohon sehat lah selalu!
Karena rinduku, belum berlalu..

Jakarta, 7 Februari 2017
11.40 PM

Yakin tetap akan Diam?

Hai, kau!
Kenapa kau pilih bungkam , ketika banyak alasan untuk mengungkapkan?
Kenapa kau pilih diam, ketika banyak orang menawarkan bantuan?
Kenapa pula kau lantas memendam, ketika bisa dengan lantang kau teriakkan?

Benarkah rasa malu yang kau pelihara?
Atau tingginya gengsi yang kau jaga?
Kau bilang karena kau tak sesempurna istri pertama Rasul kita?
Sungguh demikian kah ?

Lalu, kini kau meraung sakit tanpa luka?
Hanya karena kepastian yang tak kau terima?!
Bahkan karena pilihan yang tak kau tahu benar apa manfaatnya?

Berhentilah berpikir bodoh, lekas tentukan sikap!

Jakarta, 7 Februari 2017
10.35 PM

*ditulis ketika "kau" dalam keadaan berantakan dan mulai meragukan arti "diam-diam mendoakan"

#30DWChallenge #Day7 #Squad1

Berbagi Hati

Monday, February 6, 2017



Beberapa tahun yang lalu di salah satu mata kuliah, ada 1 pertanyaan dari dosen yang sebenarnya jawabannya tak terlalu penting untuk kelanjutan isi kelas kita, tapi tetap menarik untuk diperbincangkan.

"Berapa banyak orang yang menyetujui poligami?"

Identitas kita dirahasiakan, karena memang hanya perlu menuliskan "ya" atau "tidak di kertas kecil, dikumpulkan, lalu dihitung.

Dari 29 mahasiswa, kurang dari 10 siswa menyetujui poligami dan selebihnya menolak. Aku salah satu pihak yang setuju. Selepas kuliah aku berbincang dengan salah satu teman pria yang kutahu dia memiliki jawaban yang sama.

Diskusi kurang 15 menit berakhir dengan sebuah kesepakatan, ya, kami sama-sama sepakat bahwa kami tidak bisa menolak ketentuan Tuhan, Allah yang dalam ayatNya membolehkan makhluk ajaib bernama laki-laki menikahi lebih dari 1 wanita, yaitu 2, 3, atau 4. Namun, kami juga percaya bahwa tak kan ada dari mereka yang mampu melakukan pilihan itu, apalagi dengan jaminan surgaNya, terkecuali Nabi Agung kita Muhammad SAW. Kami tetap menyetujui ketentuanNya, tapi bukan berarti kami menyepakati untuk apalagi sanggup melakukannya. Aku mencoba membayangkan, jika nanti menjadi istri, lalu suamiku tiba-tiba membawa perempuan lain ke dalam keluarga, entah dengan ijin atau tidak, sepertinya aku tak kan rela! Ya, aku perempuan biasa, berteman akrab dengan dosa, apalagi sakit hati, cemburu, dan mudah terluka, makanan sehari-hari sepertinya. Ikhlas berbagi rasa sepertinya ungkapan percuma, mentah dan mental jika urusan hati, apalagi kekasih hati. Naudzubillah! Maaf Allah.. Aku belum sanggup dan kurasa tak mungkin sanggup.

Teruntuk calon imamku, maaf, aku harus sampaikan sekarang, bahwa aku tak sanggup dimadu, aku belum lah semulia perempuan-perempuan zaman Nabi yang sepenuhnya ikhlas berbagi hati.

Jika kau tak sanggup setia, juga berdiri bersama satu wanita, silakan dari awal cari lah perempuan lainnya, bukan aku untuk yang kau jadikan ibu dari anak-anak kita!
Semoga aku mampu berbakti padaMu dengan jalan surga lainnya..
#30DWC #Day6 #Squad1

Sandiwara Gadis Belia

Friday, February 3, 2017

Cinta sering kali menghadirkan luka
Jika bukan aku yang mengalaminya
Kulihat sekian banyak dari mereka merasakannya
Tidak kah kau paham jika ini hal yang wajar untuk ku takuti?

Cinta pun gemar membawa suka
Aku pun belum merasakan sepenuhnya
Tapi ada sorot bahagia terlihat dari mereka
Tidak kah kau paham jika ini hal yang wajar untuk ku ingini?

Cinta dan agama itu 2 hal yang berbeda,
Tapi tak kupungkiri mereka erat berkaitan
Kali ini ijinkan ku berbicara hanya soal rasa
Tentang nafsu manusia untuk bahagia
Perihal hati yang menuntut untuk ada yang didamba

Namun, kau tahu?
Aku buta,
Jangan tanya bagaimana kuterjemahkan soal rasa
Membedakan nyaman dan sayang saja aku tak bisa
Apalagi siapa yang kucinta
Jika saja ku tak percaya Tuhan dengarkan doa
Mungkin saja aku memilih membabi buta dalam bercinta
Atau memilih sama sekali hidup tanpanya

Ah, Tuhan! Kau bilang jangan berharap pada manusia lainnya
Nyatanya, Kau buat aku bergantung pada mereka
Hingga khawatir berlebih membuatku tak jernih!

Tuhan! Kau tahu?
Dalam menunggu selalu ada rindu
Dalam menanti rasa ini berkali-kali hampir mati

Sandiwara ini menyakitkan, menyesakkan, tanpa pilihan,

Ah, manusia!
Setidaknya kau harus bahagia, Tuhan masih beri kau rasa percaya
Semua indah pada masanya!
Sabar dan berdoa menjadi kuncinya? Lalu, aku hanya bisa mengakhiri dengan kata, semoga!

*ditulis oleh perempuan hampir 23 yang tiba-tiba memikirkan rasa karena diskusi soal cinta yang berbeda dan penuh drama bersama teman beda usia berakhir dengan ia yang lebih dulu mengistirahatkan mata, Diana namanya.

Jakarta, 23 Juni 2016

Diedit pada:
Jakarta, 3 Februari 2017

Maaf, Aku Mendoakanmu!

Thursday, February 2, 2017

Ada banyak alasan tuk menutup mata
Ternyata, kebohongan tak berlaku pada rasa
Kini, hati berlabuh pada lelaki tak sempurna,
Sosok dirimu yang bersemayam dalam dada

Kau tahu? Ada banyak cara tunjukkan cinta
Yang kupilih, ungkapkannya dalam doa
Meski tanpa tahu, apakah akan terbalas dengan hadirmu,
atau justru kehilanganmu

Jika suatu saat nanti kau temuiku disetiap pagimu,
Maafkan aku,
Kau harus bersama orang yang mungkin saja,
Tak pernah kau harapkan untuk bersanding denganmu.
Kau tahu bahwa Tuhan,
Adalah Dzat yang Maha Membolak-balik hati para makhluknya, bukan?

Jika suatu saat nanti kau memang mengarungi hari tua bersamaku,
maafkan aku,
Mungkin itu jawaban Tuhan,
Atas ketulusan dan kesabaranku menyebut namamu disetiap sujudku,
Kau tahu, lelaki baik hanya akan dipertemukan dengan ia yang baik pula, bukan?
Semoga kita termasuk orang-orang baik yang kemudian dijodohkan.

Jakarta, 2 Februari 2017
-MF-
#30DWCH2

Singkat, tapi Melekat. Sekilas, tapi Membekas!

Wednesday, February 1, 2017

Jika "Cinta dalam Hati" menjadi lagu favoritku sejak SMP dulu, maka "Menangis dalam Hati" menjadi hal favoritku kala itu.

Yaa.. Tangisku hanya meledak sekali, saat perbincangan antara seorang Bapak Tua bersuara serak dengan anak sulung tak tau diuntung berakhir. Sisanya terpendam pada rongga dada berlapis daging tipis yang selalu bergetar dikala kebaikan banyak orang hadir membersamai. Pasalnya, kenikmatan-kenikmatan Tuhan menghampiriku dalam 4 hari itu. Agustus tahun lalu, aku sebagai perempuan Jawa yang sudah lebih dari 5 tahun tinggal d Ibukota harus kembali dari Jogjakarta ke Jakarta dengan cara yang berbeda. Perjalanan dibatasi dalam waktu 4 hari 3 malam bersama 2 teman seperjuangan yang kemudian kusebut sebagai saudara senyawa. Mada, perempuan setangguh baja dari Sulawesi Tenggara dan Garda, mahasiswa akhir Universitas Gajah Mada. Sejak awal aku pun tak menganggap kebersamaan kami sebagai tantangan karena sepertinya tak banyak beda diantara kita. 2 kota dengan bekal 100.000 yang harus kami singgahi yakni Purwokerto dengan misi tangan di atas dan Brebes dengan misi tangan di bawah pun ku rasa akan berjalan dengan baik-baik saja.
Tumpangan gratis atau penolakan halus-kasar dari mobil pick up, truk terbuka, atau mobil biasa-mewah sepertinya menjadi hal lumrah dalam setiap perjalanan kami. Dari ayam goreng, rica-rica, nasi rames, hingga gorengan menjadi santapan penuh makna. Petugas pasar dengan ramahnya menyambut ziarah tangan di bawah kami, memberi kami tempat penitipan barang, rekomendasi para penjual, hingga makan siang. Begitu pun Pak polisi yang mengijinkan kami mengamen bahkan mencarikan tumpangan, juga menraktir makan. Mas Sayuti, yang tiba-tiba muncul ketika kami mencari tau tentang jalan menuju alun-alun Brebes memberi kepercayaan speenuhnya untuk meninggali rumah secara utuh tanpa penghuni lainnya, sebelumnya, ia mengajak kami keliling 2 kota (Tegal-Brebes) dengan Honda Jazz merah sambil banyak cerita. Bantuan terakhir menutup ziarah diri tangan di atas kami datang ketika kami lambaikan kertas bertuliskan, "Numpang ke Cirebon, Pak.. Tolong" menggugah hati seorang bapak satu orang anak; Pak H. Kasmuri namanya. Bersama Avanza beliau, kami meninggalkan Kota Telur Asin dengan hati yang luar biasa. Mendengar berbagai petuah beliau, kami merasa kecil sekaligus harus merasa besar untuk terus melanjutkan perjuangan.
Perjalanan mengenal diri ini membuatku memberi arti, tantangan yang aku dan 2 karibku sepakati sebagai hal yang sedikit biasa membuat kami kembali sepakat untuk memberi makna yang luar biasa. Semakin sadar bahwa tak satu pun manusia bersih dari dosa, tak ada sesuatu yang kekal dan abadi, tak ada hal apa pun yang mampu sempurna. Namun, Tuhan tak pernah gagal menciptakan sesuatu. Ia sempurna dalam membentuk fungsi dari setiap apa yang dicipta, karena Ia Maha Segalanya.
Ia sisakan banyak manusia berharga dengan hati yang begitu istimewa. Manusia-manusia yang dalam memberi dan peduli tak perlu mengenal jati diri, melainkan cukup bergeraknya ketulusan hati. Manusia-manusia yang jika dalam percayanya melampaui apa yang ia miliki, akan berhasil dalam menempa diri.
Menjadi manusia baru, kurasa bukan basa basi semata. Aku yang sering kali sejak dini meremehkan diri sebagai manusia sampah tanpa arti, kini siap menjadi pribadi mandiri yang harus lebih peduli pada 2-3 manusia di sebelah kaki. Aku yang tak jarang mengabaikan keluarga dan adik-adikku, kini sadar dari tamparan untuk kembali mengayomi mereka. Untuk tidak melulu memberi mereka materi, melainkan ketulusan hati dalam berbagi. Perjalanan ini singkat, tapi melekat. Sekilas, tapi membekas.



Terima kasih telah membantuku memberi arti.

Terima kasih telah menjadikanku manusia yang lebih berarti.