It's my life...



Petani Pemberi Arti

Sunday, August 7, 2016

Teruntuk anak petani yang semakin gemar berbagi; Maizal Walfajri

Ada hal-hal yang tak pernah dapat dipinta; salah satunya memilih siapa orang tua kita. Tuhan Yang Maha Segala membatasi kemampuan makhlukNya. Ia lah yang berkuasa menunjuk rahim siapa berisi siapa, terlahir dari si kaya atau bahkan jauh dari sederhana, dibesarkan oleh yang langsung dikenal tanpa menyebutkan nama atau bahkan tak pernah sekalipun dianggap ada. Demikian pula dengan bujang Padang Panjang yang lahir 22 silam ini, dia tak pernah memilih untuk tumbuh menjadi sosok yang akhirnya cinta pendidikan justru bersama orang tua dengan pekerjaan yang dianggap akan mewariskan ilmu agar anak-anaknya hidup sampai tua dengan pekerjaan yang sama; Petani Desa.
Ialah Maizal Walfajri, anak ke-empat dari 5 bersaudara yang bercita-cita menjadi seorang dokter. Namun, siapa sangka ia kini menikmati pendidikannya di salah satu perguruan tinggi ternama dengan jurusan Ilmu Komunikasi di Bandung. Jangan kan berkaitan dengan cita-cita, keinginannya pun jauh dari sana. Lagi dan lagi, manusia memang ada batas kemampuannya, seringkali ia mendapat apa yang mereka butuhkan, bukan inginkan. Tentu hanya Tuhan yang mampu mengetahuinya bukan? Mai, begitu ia disapa, yang semasa kelas 3 SMA hanya mengincar satu Universitas dengan predikat salah satu yang terbaik di Indonesia bernama ITB dengan jurusan Teknik Industri dan Mikrobiologi, justru jatuh pada pilihan terakhirnya yang dengan asal ia tulis saat pendaftaran; Universitas Padjajaran. Menyesalkah ia berdiri di tempatnya saat ini? Ia justru bersyukur, Tuhan Memang Maha Sempurna dalam menunjukkan kebutuhan nurani ciptaanNya, bukan sekedar memberi apa yang manusia inginkan.
Berawal dari keberuntungan tak disengaja itulah akhirnya Maizal terseret dan terkena candu pada bagaimana dunia sosial, terutama pendidikan yang bahkan dalam kesederhanaannya masih dapat memberi arti. Pengalaman yang ia geluti dibidang social atau pun pendidikan memang belum lah lama, tapi setidaknya apa yang ia dapat telah memberi banyak makna hingga membuat ia betah untuk semakin lama berada di lingkaran itu. Jika pada awalnya ia hanya iseng untuk mendaftar menjadi seorang volunteer pada projek pertama di tahun 2015, sekarang ia bahkan mendapat kepercayaan untuk menjadi koordinator projek kedua di sebuah komunitas bernama Satu Ton untuk Papua (STUP). STUP adalah sebuah komunitas yang peduli akan pendidikan untuk anak-anak yang berada di Papua. Para volunteer di dalamnya mengumpulkan berbagai macam bahan penunjang belajar seperti buku bacaan, buku pelajaran, alat tulis, dan permainan edukatif untuk dikirimkan ke Papua. Tidak hanya itu, salah satu volunteer hadir ditengah-tengah adik-adik Papua untuk mengajar mereka di sebuah rumah yang sama-sama mereka bangun bernama Honai Mimpi. Sebelum berada di komunitas itu, saat tahun pertama hingga tahun ketiga ia kuliah, lelaki yang mengaku memiliki hobi membaca ini bergabung pada salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di fakultasnya bernama Kelompok Jatinangor 21. Mai juga pernah menjadi panitia program BEM Kema Unpad Kementerian Pengabdian di tahun kedua kuliah dan juga pernah terlibat dalam Traveling and Teaching (TNT) oleh 1000 Guru Bandung di SMPTN Cicalengka, Jawa Barat. Dunia ini pula yang mengantarnya untuk berkesempatan bertemu dengan Butet Manurung, pendiri Sakola Rimba, saat menjadi panitia Diskusi Pendidikan antara Sakola Rimba dan 1000 Guru Bandung. Ia masih ingat salah satu hasil diskusi tersebut, “peduli saja tidak cukup, jika kita ingin peduli, lakukan hal yang tetap menjadikan yang kita pedulikan itu menjadi dirinya sendiri”. Ia pun mengaku benar telak pada pernyataan tersebut.
Dalam keseharian di tempat kuliah, Maizal juga cukup berbeda dengan teman-teman seperjuangannya. Pasalnya, jika mahasiswa lainnya memilih menghabiskan waktu liburan kuliah mereka untuk liburan ke tempat-tempat wisata atau di kampung halamannya, pemuda yang lahir di tanggal 16 Juli ini justru hobi sekali untuk mengisinya dengan magang, magang, dan magang. Alhasil, pengalaman magangnya telah membawa ia di tempat-tempat ternama seperti Harian Kontan, Kantor Staff Kepresidenan, dan kini ia masih menyelesaikan bulan Agustusnya untuk berada di media televisi (yang katanya) masa kini, NET. TV.  Menurut pemuda yang berniat akan meneruskan S2 sebelum menjadi pendidik mahasiswa ini, dalam magang ia pun sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kawan sebaya, ia tetap bisa nongkrong dan bermain hanya saja manfaatnya jauh lebih terasa, terutama saat ia bisa bertemu dengan orang-orang baru yang notabennya bukan orang-orang biasa.
Perihal sosok-sosok yang berada dibalik tirai keistimewaan seorang Maizal, ia mengaku bahwa kedua petani yang terkesan memaksakan diri untuk menyekolahkan kelima anaknya lah yang menjadi inspirator terbesar dalam hidupnya. Adalah yang ia panggil dengan sebutan Ayah dan Umi ini lah ia belajar banyak hal tentang kehidupan, terutama dalam memperjuangkan pendidikan. Kebanggan Maizal pada mereka tak semata-mata karena mereka adalah orang tua, lebih dari itu, mereka berbeda dari kebanyakan petani lainnya. Dari keluarga petani yang sangat sederhana, tetapi menekankan kehangatan keluarga ini lah lahir 2 orang sarjana, satu lagi tengah menempuh program magisternya, bungsunya masih di SMP, dan Maizal sendiri tengah memperjuangkan skripsinya agar segera wisuda. Jika saja orang tuanya tak segigih ini dalam menyekolahkan anak-anaknya, mungkin saja Maizal yang selanjutnya berencana bergabung di Indonesia Mengajar ini tak akan mengenal pulau di luar Sumatera bahkan kuliah di Pulau Jawa. Ia beserta ke 4 saudaranya barangkali akan terus bersama untuk ke sawah dan ladang di setiap harinya. Meski ayahnya bahkan tak tamat SD, tetapi ia menjunjung tinggi nilai dan norma positif dalam keluarga. Sejak kecil, Maizal beserta para saudara belajar demokrasi, mengungkapkan dan menghargai pendapat, dan tentunya bertanggungjawab. Meski dalam skala kecil berupa keluarga, nyatanya mampu memberikan perubahan yang berarti di keseharian anak-anaknya hingga dewasa. Kedua petani ini pula yang akhirnya menjadikan seorang pecinta kopi dan film ini terjun di bidang sosial-pendidikan. Ia tak mau hanya ada 5 anak desa seperti dia yang merasakan indahnya pendidikan dan semangat positif untuk terus berkembang dan berbagi. Semangat-semangat berbagi itu semakin berkobar tatkala ia justru merasa “menerima” ketika ia “berbagi”. Tak ada rasa kehilangan atas sesuatu yang ia berikan pada orang lain, sebaliknya, ia menerima reminder dari Tuhan melalui orang-orang yang mereka bagi untuk terus hidup dalam kerendahan hati dan penuh syukur pada Ilahi.


Ditulis oleh seorang pendidik yang gemar menelisik; Mu’azzatul Faridah

-Cinta yang Tak Berawal dari Mata-

Sunday, July 31, 2016


Ada yang pernah bekerjasama dengan banyak orang secara baik selama berbulan-bulan tanpa pernah sekali pun bertemu sebelumnya? Kurasa aku hanya satu dari sekian banyak yang pernah mengalaminya. Ijinkan aku bercerita tentang mereka yang kusebut bukan makhluk biasa.

Maret lalu, seorang perempuan yang ‘agak gila’ sepertinya iseng untuk menawariku bergabung dengan sebuah komunitas yang dulu hanya sekedar pernah kudengar namanya. Aku yang saat itu tengah haus dengan kesibukan di luar pekerjaan formal, membuatku segera meneguk habis agar kembali bugar. Sempat bertanya pada orang yang kupercaya, ia bilang programnya keren, sekaligus mengingatkan untuk tidak meninggalkan program lama yang sudah kami jalankan bersama. Berbekal informasi itu lah akhirnya aku memulai perjalanan bersama manusia-manusia gila lainnya.

Tak lama dari itu, ak disuguhi beberapa dokumen untuk ditelaah agar bisa segera mengerti dan mendalami. Aku yang sepertinya sudah lama meninggalkan cara belajar secara cepat terpaksa harus kembali belajar bagaimana harus gesit dalam menelan butiran materi. Program ke-6 yang saat itu sudah setengah jalan menjadi sebuah program unggulan, GMB SICT; Sekolah Bandéra namanya! Sebuah program untuk 5 anak kampung tak kaya dari Bondowoso yang terpilih untuk dan akan melanjutkan pendidikan menengah kejuruan di Kota Malang. Sebulan berlalu, aku menjadi bagian dari mereka bersama para volunteer lainnya. Dengan mempercayai diri yang kemudian dipercaya oleh mereka, aku lalu memutuskan untuk bercuap di media Bandéra. Sama sekali tanpa paksa, aku pun bergabung juga dengan mereka yang selanjutnya disebut sebagai para Mentor agar selalu sejalan dengan setiap postingan. Di sini lah aku semakin percaya, cinta tak melulu berawal dari mata.

Kami ber-14 dengan semangat lebih dari 41. Dari 14 orang tersebut, aku hanya benar-benar mengenal 1 orang saja, Devi Elsa Pratiwi, itu pun dengan komunikasi yang sangat terbatas dan pertemuan yang tak mudah ditentukan. Selebihnya aku hanya tahu nama mereka yang kemudian berubah menjadi mengenal dan menyukai mereka. Jangankan bertemu, berharap untuk bertemu saja sepertinya butuh waktu, dana, dan rencana yang tak mentahan. Pasalnya, kami terpisah kota, bahkan provinsi. Yes! Mereka tidak di Jakarta, volunteer-volunteer ini di Bondowoso dan Malang. Kami hanya bermodal sebuah group Line untuk bertukar sapa dan cerita, tentang apa pun, entah yang berkaitan dengan Bandéra atau gurauan semata. Sejak 5 Pasukan Bandéra meninggalkan kampung mereka untuk mendaftarkan diri ke SMK di Malang, intensitas kita semakin bertambah. Ratusan chat memenuhi pemberitahuan, gelak tawa ada diantara kita, cela dalam canda sering kali menambah riuh, tapi jangan ditanya bagaimana kinerja mereka. Pernah mereka membuatku menganga, selama 5 hari penuh, saat bulan puasa, mereka meluangkan waktu, bahkan bisa dikata memprioritaskan waktu untuk menemani Pasukan Bandéra mengurus pemberangkatan  dari Bondowoso ke Malang, pendaftaran sekolah, tempat tinggal mereka di Malang, mengajak rekreasi untuk mulai mengenal Malang, menjadi dokter untuk salah satu pasukan Bandéra yang sedang tak sehat, hingga tuntas terbayar saat pengumuman tiba. Meski tak berada di sana, aku merasakan senyum dan tawa bahagia mereka ketika 5 Pasukan Bandéra diterima di setiap sekolah yang mereka incar, beberapa diantaranya bahkan menduduki peringkat teratas. Berlanjut, ketika mereka harus pontang-panting mencari tempat kos untuk para pasukan, jika 1 volunteer menyatakan tak bisa, yang lain akan dengan tenang bersedia untuk menggantikannya. Tak ada perhitungan tentang tugas yang dilaksanakan, Ibu presiden kami pun tak pernah memaksa kami untuk mengerjakan sesuatu. Tapi dengan tegas menampar kami dengan komitmen yang dipertanyakan. Pernah aku begitu terharu, ketika aku memperhatikan perbincangan mereka tentang salah satu Pasukan Bandéra. Diskusi itu hangat meski mereka tak satu pendapat. Aku tak mau lagi gengsi untuk membiarkan mataku basah, tersedu aku melihat perjuangan mereka. Sampai saat ini aku masih bertanya, mereka ini bukan siapa-siapanya, toh tak ada jaminan bahwa kelima anak itu tidak akan mengecewakan. Bayaran gak ada, malah mereka yang siang-malam sepertinya memikirkan dana agar anak-anak itu bisa terus mengenyam pendidikan. adik bukan, saudara juga bukan, orang tuanya saja belum tentu memikirkan, nah mereka? Sok-sokan memberikan banyak bagian dari hidup mereka untuk mewujudkan kebaikan? Jika tak ada iman dalam diriku, mungkin aku tak sepenuhnya percaya mereka benar-benar tulus melakukannya. Beruntung, Tuhan membuktikan bahwa kuasaNya itu selalu ada, termasuk menciptakan manusia-manusia yang dalam dirinya memikirkan makhluk lainnya, bukan semata mengenyangkan perutnya. Ternyata, orang-orang baik itu memang masih ada, mereka berkeliaran tanpa harus meneriakkan diri atas apa yang sudah dilakukan. Berkali-kali aku mengutuk diri, rasa syukur yang harusnya kupanjatkan justru seringkali menjadi keluhan. Malu!

Aku tak sempat merasa asing diantara mereka, bukan karena tak ada waktu, tapi karena sebelum aku mencoba mengakrabkan diri, mereka lebih dulu merangkulku. Jangankan sungkan untuk mengajak bercanda, baru berniat untuk memulainya saja mereka sudah lebih dulu menggoda. Aku mendapat banyak ilmu tanpa harus bertemu! Belum bertemu saja aku jatuh cinta, apalagi jika kesempatan itu ada?! Ijinkan aku terus menjadi pembelajar yang baik, yang bisa dengan tulus seperti kalian dalam berbuat kebaikan, yang sama-sama berharap untuk mengikis pamrih di setiap perbuatan, yang tetap menjalankan prioritas tanpa mencurangi berbagai kepentingan, dan yang rela mengurangi banyak waktu istirahat untuk menjalankan hal berharga lainnya.

Teruntuk perempuan ‘kurang waras’ yang mungkin saja dulu tak sengaja mengajakku bergabung, aku tak mau berterima kasih, karena tahu tak kan banyak pengaruh. Kau hanya perlu tau, kau telah membantu seseorang untuk menghargai kehidupan. Jikalau nanti mulai terselip penyesalan telah mengenalkanku pada mereka, aku bersedia diingatkan meski dengan tamparan. Lekas sehat!

Jakarta, 31 Juli 2016..

Salam berbagi,
Seorang Pembelajar yang Berusaha Menghargai Setiap Proses Kehidupan